Senin, 20 Desember 2010

Ternyata Ada 2 KIMA di Makassar




Siang itu jam dinding rumahku menunjukkan angka 2:30. Saya segera menuju kamar untuk merebahkan diri dari padatnya aktivitas disiang hari.  Belum semenit tiba-tiba handphoneku berdering, “sir kuliah orang sekarang” kata Nanang diujung handphone, “tapi baruji masuk to”? kataku padanya dengan sedikit panik, “ia, di ruang 102 kita kuliah” jawabnya.  Saya bergegas menuju kampus yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumah, kurang lebih 10 menit saya tiba dikampus,  ruangan kelas telah penuh sesak.

Hari itu Kamis 30 Oktober 2008 merupakan kuliah perdana mata kuliah Perencanaan Sistem yang dibawakan oleh Pak Kaimuddin.  Dari slide presentasi yang ada di dinding ruangan, terlihat beliau masih menjelaskan bagian-bagian awal dari mata kuliah itu. Alhamdulillah saya tidak terlalu ketinggalan, aku membatin.  Menurut Pak kaimuddin, pendekatan sistem dalam hal ini pemodelan sistem pada awalnya digunakan untuk kepentingan militer amerika. Tiba-tiba ingatanku tertuju pada alat yang bernama GPS (Global Positioning Satellite).  GPS pada awalnya digunakan dikalangan militer amerika, tetapi karena sudah ada teknologi yang lebih baru dan canggih maka barulah teknologi gps itu dilempar kemasyarakat umum.  Saya berpikir jangan-jangan masih banyak teknologi canggih yang digunakan oleh militer amerika dan ketika teknologi itu sudah usang dengan teknologi yang baru dan lebih canggih maka baru barulah teknologi yang sudah usang itu dilempar kemasyarakat umum dan bagi mereka teknologi-teknologi adalah teknologi baru dan canggih.

Pak Kaimuddin masih terus memberikan penjelasan, kali ini beliau menjelaskan mengenai input terkontrol dan tak terkontrol, mengenai output yang diinginkan dan yang tak diinginkan dari diagram kotak gelap pada sebuah sistem.  Tiba- tiba beliau berkata “
ada dua KIMA di Makassar”. Saya begitu kaget mendengarnya, sepengetahuanku KIMA (Kawasan Industri Makassar) itu  hanya ada satu, yaitu yang berada di daerah Daya.  Saya benar-benar  kurang informasi, pikirku sambil menyalahkan diri sendiri.  “KIMA yang pertama yaitu kawasan industri makassar terletak di daerah daya......”, kalau KIMA yang ini saya sudah tahu, tapi KIMA yang kedua dimanakah ia berada ?,saya tidak sabar lagi mengetahuinya, .....“KIMA yang kedua yaitu Kawasan industri Maksiat  yang terletak di jalan N.....,” tiba-tiba kelas menjadi ribut akibat gelak tawa teman-teman.  Belum reda kegaduhan itu, Pak Kaimuddin melanjutkan perkataanya “KIMA yang pertama limbahnya dapat dikontrol tetapi KIMA yang kedua limbahnya tidak dapat dikontrol”, hehe lagi-lagi kami tertawa.  Apa yang dikatakan Pak Kaimuddin itu memang benar, untuk limbah industri, jumlahnyan dapat dikontrol dengan menambah kapasitas intalasi pengolah limbah cair, tapi untuk limbah KIMA yang kedua yaitu penyakit AIDS, sangat berat untuk mengontrolnya.  Selain karena belum ditemukannya obat mampu menghancurkan HIV (obat yang ada sekarang masih pada taraf menghambat pertumbuhan virus), terkadang para korban HIV AIDS dengan sengaja mewariskan penyakitnya ke orang lain maka jadilah limbah KIMA kedua itu makin sulit terkontrol. Mungkin cara yang paling ekstrem adalah menutup KIMA kedua itu, tapi apakah pemerintah kota Makassar berani melakukannya ?

Sekitar pukul 4:30 sore kuliah berakhir, langit mendung, saya bergegas pulang kerumah, pulang dengan tambahan informasi baru bahwa ternyata ada 2 KIMA Makassar.  Mudah-mudah jenis KIMA kedua itu tidak bertambah di kota ini dan alangkah indahnya jika KIMA kedua yang terletak di jalan N....... itu suatu saat ditutup, semoga.


Makassar, 29 Januari 2009

Kritik Terhadap Pemikiran Ulil Abshar Abdallah (Bagian Ke Dua- Habis)


Pemikiran Ulil tentang masalah ini masih belum dijelaskan secara utuh, sehingga yang bisa dilakukan selanjutnya adalah mencoba menebak kira-kira yang dimaksud "bebas" dalam konteks di atas, apakah bebas –sebebas-bebasnya (tanpa resiko), ataukah bebas beresiko. Nampaknya yang dimaksud oleh Ulil sehingga menjadi kontroversial adalah bebas-sebebas-bebasnya (tanpa resiko). Hal ini sangat tampak dari pemikirannya tentang bahwa Agama Islam tidaklah memiliki fungsi membatalkan (nasikh) untuk agama-agama sebelumnya. Semua agama dalam pandangan Ulil adalah benar.

Ada dua potongan ayat al-qur'an yang dijadikan sebagai dasar oleh Ulil dalam mengemukakan pandangannya, yaitu surat al-baqarah :256. dan al-Kahfi : 29 yang berbunyi :

 لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
 فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ

Dua potongan ayat di atas, apabila dipahami lepas dari konteks dan konsiderannya, seakan-akan memberikan kebebasan yang mutlak dan tanpa batas kepada siapapun untuk beragama, atau tidak beragama; untuk beragama islam atau bukan Islam. Pemahaman yang lepas dari konteks dan konsiderannya semacam inilah nampaknya yang dipilih oleh Ulil, dan hal ini oleh Ulil dianggap bagian dari ajaran agama yang paling qath'iy setelah ajaran tentang monoteisme.

Untuk mengklarifikasi, apakah potongan ayat di atas harus dipahami demikian, marilah kita baca ayat di atas secara lengkap. Bunyi lengkap surat al-baqarah : 256 adalah :

" Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[162] dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui."

Secara sederhana ayat di atas ditafsirkan oleh tafsir al-jalalain dengan :

{ لآ إِكْرَاهَ فِى الدين } على الدخول فيه { قَد تَّبَيَّنَ الرشد مِنَ الغي } أي ظهر بالآيات البينات أن الإيمان رشد والكفر غيّ

Sementara Ibnu Katsir menafsirkan ayat di atas dengan :

يقول تعالى: { لا إِكْرَاهَ فِي الدِّين } أي: لا تكرهوا أحدًا على الدخول في دين الإسلام فإنه بين واضح جلي دلائله وبراهينه لا يحتاج إلى أن يكره أحد على الدخول فيه، بل من هداه الله للإسلام وشرح صدره ونور بصيرته دخل فيه على بينة، ومن أعمى الله قلبه وختم على سمعه وبصره فإنه لا يفيده الدخول في الدين مكرها مقسورًا.

Dari penafsiran dua kitab tafsir yang biasa dijadikan sebagai rujukan oleh kalangan nahdliyin di atas dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu :


  • Seseorang dilarang untuk dipaksa untuk masuk agama Islam.
  • Mempercayai Islam adalah sebuah kebenaran, sedangkan ingkar terhadap Islam merupakan sebuah kesesatan 
  • Orang yang masuk Islam termasuk dalam kategori orang yang mendapatkan petunjuk ari Allah, sedangkan orang yang menolak Islam termasuk orang yang buta hatinya.

Sedangkan bunyi lengkap surat al-Kahfi : 29 adalah :


وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا

" Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya kami Telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek."

Imam al-Thabari memberikan penafsiran ayat di atas dengan :

يقول تعالى ذكره لنبيه محمد صلى الله عليه وسلم: وقل يا محمد لهؤلاء الذين أغفلنا قلوبهم عن ذكرنا، واتبعوا أهواءهم، الحقّ أيها الناس من عندربكم، وإليه التوفيق والحذلان، وبيده الهدى والضلال يهدي من يشاء منكم للرشاد، فيؤمن، ويضلّ من يشاء عن الهدى فيكفر، ليس إلي من ذلك شيء، ولست بطارد لهواكم من كان للحقّ متبعا، وبالله وبما أنزل علي مؤمنا، فإن شئتم فآمنوا، وإن شئتم فاكفروا، فإنكم إن كفرتم فقد أعد لكم ربكم على كفركم به نار أحاط بكم سرادقها، وإن آمنتم به وعملتم بطاعته، فإن لكم ما وصف الله لأهل طاعته.

Sementara wahbah Zuhaili di dalam tafsir Munirnya menafsirkan ayat di atas dengan :

وَقُلِ خطاب للنبي ولأصحابه. الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ الحق ومنه القرآن: ما يكون من جهة اللّه تعالى، لا ما يقتضيه الهوى. فَمَنْ شاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شاءَ فَلْيَكْفُرْ تهديد لهم ووعيد

Sedangkan Ibnu Katsir menafsirkan ayat di atas dengan :

يقول تعالى لرسوله محمد صلى الله عليه وسلم: وقل يا محمد للناس: هذا الذي جئتكم به من ربكم هو الحق الذي لا مرية فيه ولا شك { فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ } هذا من باب التهديد والوعيد الشديد؛

Dari penafsiran tiga kitab tafsir yang cukup mu'tabar di atas dapat disimpulkan bahwa tidak tepat menjadikan ayat di atas sebagai argumentasi untuk sebuah "kebebasan beragama" dalam arti sebebas-bebasnya, karena ayat di atas disebutkan dalam konteks ancaman atau al-tahdid wa al-wa'id al-syadid.

Dari uraian di atas jelas sekali bahwa yang dimaksud dengan kebebasan beragama adalah bebas beresiko, bukan bebas dalam arti sebebas-bebasnya. Hal ini menjadi lebih jelas lagi dengan adanya dukungan dari ayat dalam surat Ali Imran : 19 yang berbunyi :

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

" Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang Telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, Karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya."

Dan ayat yang lain dalam surat Ali Imran : 85 yang berbunyi :

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

" Barangsiapa mencari agama selain agama islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi."

Dua ayat di atas sebenarnya juga disitir oleh Ulil di beberapa tulisannya, akan tetapi Ulil tidak sepakat terhadap pengertian dhahir nash karena hal ini akan mengarah pada absolutisme yang pada gilirannya akan mengancam adanya dialog antar agama . Harus ditafsiri bagaimana dua ayat di atas ? sayang sekali Ulil tidak memberikan komentar dan penjelasan sama sekali.

Bagi Ulil, seseorang bebas apakah akan masuk Islam, atau tidak. Pun juga demikian, setelah masuk Islam seseorang bebas menentukan pilihan paham keislamannya; apakah akan berpaham wahabi, syi'ah, ahlussunnah, atau yang lain. Yang menarik disini adalah Ulil tidak berani menentukan sikap mana yang benar diantara paham-paham tersebut, bahkan nampaknya mengarah pada sebuah pemahaman bahwa aliran-aliran yang ada di dalam Islam semuanya benar. Dan hal ini bertentangan dengan hadits nabi yang berbunyi :

حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا أَبُو عَمْرٍو حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ بَنِى إِسْرَائِيلَ افْتَرَقَتْ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَإِنَّ أُمَّتِى سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِى النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً وَهِىَ الْجَمَاعَةُ » (رواه ابن ماجه )

Sisi Lain dalam Kebebasan Beragama 

Ada dua hal yang perlu direnungkan dalam kaitannya dengan kebebasan beragama; yang pertama adalah : semua agama, keyakinan, kepercayaan, madzhab dan firqah yang ada di dunia ini pasti memiliki konsep dakwah. Dengan konsep ini semua agama, keyakinan, kepercayaan, madzhab dan firqah yang ada di dunia ini pasti memiliki keinginan untuk menyebarluaskan keyakinan dan ajarannya. Kristenisasi, wahabisasi, syi'aisasi dan seterusnya bukanlah merupakan sekedar wacana yang tidak konkrit dan hanya ada di dalam tataran ide, akan tetapi secara real memang ada wujud nyatanya. Karena demikian, meskipun penting untuk selalu mengembangkan dan menjunjung tinggi ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariyah, akan tetapi penting juga untuk selalu memperhatikan peringatan Allah yang terdapat di dalam surat al-Baqarah : 120 yang berbunyi :

وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ 

" Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka."

Dan juga ayat al-qur'an dalam surat al-Baqrah : 217 yang berbunyi :

وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا

"mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup."

Untuk memberikan kepastian kepada umat, khususnya warga nahdliyin –agar mereka memiliki pegangan yang kuat dan pada akhirnya dapat menolak dakwah dan ajakan kelompok lain- kita harus berani secara tegas mengatakan bahwa agama yang benar hanyalah Islam, sedangkan yang lain salah, atau bahkan kita harus berani mengatakan bahwa faham keislaman yang paling benar adalah faham ahlu sunnah wa al-jama'ah.

Yang perlu dijadikan sebagai catatan adalah pandangan bahwa agama yang benar hanyalah Islam, dan faham keagamaan yang paling benar hanyalah ahlussunnah wa al-jama'ah tidak lantas justru menjadikan kita beringas, anarkis, ekstrim dan lain sebagainya. Watak tasamuh terhadap kelompok laion yang berbeda yang menjadi ciri khas Nahdlatul Ulama sudah terbukti dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Nahdlatul Ulama tidak sama sekali melarang warganya untuk berinteraksi dengan kelompok lain, karena kita yakin secara pasti bahwa pluralitas agama dan faham keagamaan merupakan realitas yang harus diterima. Sikap lakum dinukum wa liya dini, serta sikap lana a'maluna wa lakum a'malukum adalah sikap yang biasa dilakukan oleh kalangan Nahdlatul Ulama dalam menghadapi realitas ini. 

Dan yang kedua adalah konsep al-amru bi al-ma'ruf wa al-nahyu 'an al-munkar. Jika kebebasan beragama dan berfaham keagamaan dalam arti sebebas-bebasnya hanya dimaksudkan untuk sebuah toleransi, maka sebenarnya NU tidak perlu diajari tentang masalah ini. Karena sejak awal NU telah membuktikan sikap toleran terhadap realitas keberagaman (pluralitas) yang ada. Jadi permasalahan utamanya bukan terletak pada toleransi atau intoleransi, akan tetapi terletak pada realitas dimana faham ahlu al-sunnah wa al-jama'ah sedang dirongrong dan digerogoti oleh berbagai pihak. Dalam konteks semacam ini, maka NU harus melakukan al-amru bi al-ma'ruf wa al-nahyu an al-munkar demi tetap tegakkan ajaran ahlu al-sunnah wa al-jamaah di bumi pertiwi ini. Hal ini sesuai dengan tujuan NU didirikan, sebagaimana yang terdapat di dalam anggaran dasar Nahdlatul Ulama.

Sumber :  http://www.aswaja-nu.com/

Kritik Terhadap Pemikiran Ulil Abshar Abdallah (Bagian Ke Satu)



Usaha Membaca dan memahami pikiran ulil dan teman-temannya termasuk dalam kategori "pekerjaan" berat. Hal ini disebabkan karena lontaran pikirannya seringkali tidak didasarkan pada dasar metodologi yang absah dan ilmiyah, sehingga buah pikiran yang dilontarkannya tidak lebih dari hanya sekedar "pikiran nakal" yang tidak terlalu penting untuk ditanggapi.

Sebuah produk pemikiran dari siapapun, apabila akan dijadikan sebagai bagian dari pemikiran Islam, maka harus ada dasar yang melandasinya, baik dari alqur'an, hadits, ijma', qiyas atau dalil-dalil yang lain. Sulit menerima dan menganggap sebuah produk pemikiran merupakan bagian dari Islam ketika produk pemikiran tersebut tidak didasarkan pada dalil-dalil yang sah.

Pandangan semacam ini sebenarnya didasarkan pada sebuah ayat al-qur'an yang berbunyi

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Abdul Wahab Khalaf menjelaskan ayat di atas dengan :

فالامر باطاعة الله واطاعة رسوله امر باتباع القرأن والسنة والامر باطاعة اولى الامر من المسلمين امر باتباع ما اتفقت عليه كلمة المجتهدين من الاحكام لانهم اولو الامرالتشريعي من المسلمين والامر برد الوقائع المتنازع فيها الى الله والرسول امر باتباع القياس حيث لا نص ولا اجماع

Dan diperkuat oleh hadits tentang Muadz bin Jabal yang berbunyi :

أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ فُورَكٍ ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ ، أَخْبَرَنَا يُونُسُ بْنُ حَبِيبٍ ، أَخْبَرَنَا أَبُو دَاوُدَ ، أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ ، أَخْبَرَنِي شُعْبَةُ ، أَخْبَرَنِي أَبُو عَوْنٍ الثَّقَفِيُّ ، قَالَ : سَمِعْتُ الْحَارِثَ بْنَ عَمْرٍو ، يُحَدِّثُ ، عَنْ أَصْحَابِ مُعَاذٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصَ قَالَ : وَقَالَ مَرَّةً عَنْ مُعَاذٍ أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ، لَمَّا بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ ، قَالَ لَهُ : كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ ؟ ، قَالَ : أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ ، قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ ؟ ، قَالَ : أَقْضِي بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ، قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ؟ ، قَالَ : أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلا آلُو ، قَالَ : فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ بِيَدِهِ صَدْرِي ، قَالَ : الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ، لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم

Bahkan, lebih spesifik lagi bagi kalangan nahdliyin – termasuk di dalamnya Ulil dan teman-temannya dari kalangan Islam Liberal- dalam berpikir dan mengembangkan pemikirannya harus juga didasarkan pada "rambu-rambu" yang telah disepakati oleh para ulama sebagai manhaj pemikiran Nahdlatul Ulama. Secara substansial, pembuktian bahwa seseorang dianggap sebagai warga atau kader Nahdlatul Ulama sebenarnya bukan hanya terletak pada apakah yang bersangkutan memiliki kartu anggota Nahdatul Ulama (KARTANU) atau tidak, akan tetapi lebih jauh dan lebih penting dari itu adalah yang bersangkutan harus bertindak, bersikap dan berperilaku serta berpikir sesuai dengan manhaj yang telah digariskan oleh Nahdlatul Ulama.

Dalam Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama Bab IV (Tujuan dan Usaha) pasal 5 ditegaskan tujuan Nahdlatul Ulama adalah berlakunya ajaran Islam yang menganut faham Ahlusunnah wal jamaah menurut salah satu madzhab empat untuk terwujudnya masyarakat yang demokratis dan berkeadilan demi kemaslahatan dan kesejahtreraan umat.

Secara lebih operasional, Nahdlatul Ulama juga telah merumuskan tentang sistem pengambilan keputusan hukum dalam bahtsul masail di lingkungan Nahdlatul Ulama yang meliputi bagaimana prosedur penjawaban masalah, hirarki dan sifat keputusan bahtsul masail, kerangka analisis masalah, prosedur pemilihan qaul /wajah, prosedur ilhaq dan prosedur istinbat. Semua ini terangkum dalam keputusan Munas Alim Ulama di Bandar lampung pada tanggal 16-20 rajab 1412 H/ 21-25 Januari 1992 M.


Mengkritisi Pemikiran Mas Ulil

Mengkritisi pemikiran ulil tidak boleh lepas dari dua sudut pandang ; sudut pandang bahwa Ulil merupakan seorang muslim dan sudut pandang bahwa Ulil merupakan cendekiawan muda Nahdlatul Ulama. Sebagai seorang muslim yang baik Ulil tidak boleh keluar dari koridor sumber hukum Islam (al-Qur'an dan al-Hadits), sedangkan sebagai tokoh intelektual Nahdlatul Ulama, Ulil harus menjunjung tinggi dan menghormati keputusan-keputusan yang telah disepakati oleh para ulama, baik di tingkat Munas, maupun muktamar. Karena demikian, maka alat analisis yang digunakan untuk mengkritisi pemikiran Ulil adalah al-qur'an, al-hadits dan al-kutub al-mu'tabarah yang telah disepakati dikalangan Nahdlatul Ulama.

Yang menonjol dari seorang Ulil dan teman-teman kalangan Islam liberal yang lain sebenarnya pada predikat seorang pejuang "hak asasi manusia", tidak lebih dari itu. Hal ini sangat terlihat dengan jelas dari pemikiran-pemikiran yang dilontarkannya yang terakadang "nabrak" al-qur'an, hadits dan pandangan mayoritas ulama, ketika mereka beranggapan ada kepentingan yang "lebih tinggi" yang diabaikan, yaitu Hak Asasi Manusi (HAM)

Pandangan Ulil tentang : pembenaran terhadap agama-agama yang lain selain Islam ; tidak mengakui bahwa Islam adalah agama yang berfungsi sebagai agama pembatal (nasikh) terhadap agama-agama sebelumnya ; tidak sepakat terminology "kafir" disandangkan kepada kelompok non muslim; tidak mengakui adanya wacana "dar al-islam dan dar al-harbi"; Ahmadiyah masih dianggap sebagai "komunitas muslim" jarang sekali didasarkan pada argumentasi yang diakui oleh kaum muslimin, atau kalangan nahdliyin. Kalaupun menampilkan ayat al-qur'an sebagai argumentasi, biasanya hanya dipotong untuk mendukung pandangan pribadinya. Berikut ini beberapa pandangan kontroversial Ulil yang banyak ditolak karena tidak didasarkan pada dalil dan argumentasi yang kuat.

Sumber :  http://www.aswaja-nu.com/

Jangan jangan seekor anjing lebih baik daripada kita

Alangkah kerasnya hatimu.  Bahkan seekor anjing dapat dinasehati oleh pemiliknya dalam berburu, menjaga tanaman, dan menjaga binatangnya.  Padahal ia hanya diberi makan beberapa potong saja, bahkan sangat sedikit.  Sedangkan kamu makan dari nikmat yang diberikan Allah swt hingga kenyang. 

Mengapa kamu tidak menunaikan perintahNya? Mengapa kamu tidak memberikan hak-Nya?  Mengapa kamu tidak menjaga batasan-batasan-Nya?


Nasehat Syeikh Abdul qadir al jilany