Selasa, 19 Oktober 2010

Si Santri dan Si Kyai

Ada seorang santri suatu hari datang kepada kyai. Santri ini berpendidikan umum progresif. Sedangkan si kyai adalah seorang otodidak agama yang aktif. Si santri memahami Islam secara tekstual. Sedangkan si kyai sebaliknya, mencerna agama ini secara kontekstual. Si santri muda ini meletup-letup semangatnya. Sedangkan si kyai setengah baya ini yang tinggal di desa menonjol sikap tawadhu'-nya terutama terhadap ilmu.

Sekali waktu santri tersebut mengusulkan sebuah seminar ilmiah kepada sang kyai di pondoknya. Seraya mengapit sehelai stofmap berisi proposal ketik apik komputer, mahasiswa yang pernah mengaji pada kyai ini menyodorkan topik bahasan bertema Telaah Kritis Atas Hadits Bukhari.

"Saya yakin peminatnya pasti banyak, kyai. Sebab, ini khan memang lagi trend-nya!," ujar si santri berapi-api.

"Anak muda," sahut si kyai, "Tema itu terlalu sombong untuk diangkat. Apakah kita sudah mengaca diri, siapa sih kita ini, kok mentang-mentang mau mengkritik Bukhari."

Kemudian si kyai melanjutkan penuturannya, bahwa betapa Imam Bukhari (wafat tahun 256 H) memang sudah pernah dikritik oleh para ulama hadits sekaliber berat, seperti Darqutny (wafat tahun 385 H), Al-Ghassany (wafat tahun 365 H), dan pakar ilmu-ilmu hadits lainnya. Tiga abad kemudian Ibnu Shalah (wafat tahun 643 H) dan Imam Nawawi (wafat tahun 676 H) juga melakukan hal yang sama, yaitu mengkaji dan menguji kodefikasi karya Bukhari dan akhirnya mereka sepakat memutuskan bahwa Shahih Bukhari merupakan kitab paling otentik sesudah Al-Qur'an. Para ahli mengakui bahwa abad III dan VI adalah merupakan masa matang dan suburnya karya ilmiah, terutama di bidang studi hadits.

Si santri kemudian menyela :

"Tapi kyai, berdasarkan fakta, ada beberapa hadits di dalam Bukhari yang tidak sejalan dengan logika dan tak relevan dengan sejarah. Bahkan ada yang bertentangan dengan sains modern."

Si kyai pun lalu menjawab :

"Hadits-hadits riwayat bukhari itu sejalan dengan logika. Jika kamu tak paham, barangkali logikamu sendiri yang belum cukup peka untuk menangkapnya. Pikiran seperti itu mirip telaah para orientalis yang hanya berdasarkan prakonsepsi. Justru menurut saya, metodologi hadits yang dikembangkan Bukhari dalam seleksi mata rantai perawi yang begitu njlimet (kompleks) merupakan khazanah kita yang paling besar. Sesuatu yang (apalagi saat itu) jarang dikerjakan oleh ahli sejarah manapun dalam menelusuri sumber-sumber berita. Sebuah karya monumental yang tak tertandingi!."

Dengan agak menyesal, si santri muda itu berkata lagi :

"Lantas topik apa pula yang cocok untuk seminar, biar kelihatan wah begitu?."

Si kyai menyahut :

"Bikinlah seminar di dalam dirimu sendiri, dengan tema yang pas mungkin Sudah Sejauh Mana Kita Merealisasikan Sunnah Nabi Dalam Kehidupan Sehari-hari. Barangkali refleksi seperti ini akan lebih bermanfaat ketimbang kamu harus mengerjakan yang muluk-muluk, tak ketahuan juntrung faedahnya. Malahan dampaknya dapat diduga lebih dahulu, yaitu akan membuat orang awam jadi kian bingung."

Sadar disindir, si santri hanya tersenyum kecut. Mengakhiri nasehatnya, si kyai berkata, "Anak muda!, jadilah penyuluh tuntunan, jangan jadi tontonan." Si santri tersebut akhirnya kembali bermukim di desa dan menekuni kitab kuning.

[Disarikan dari Sorotan Cahaya Ilahi, M.Baharun, cetakan I, 1995, penerbit Pustaka Progressif, Surabaya]
                                                        Sumber : www.Almuhajir.net

Shalawat kedua

Syaikh yusuf bin Ismail an-Nabhani dengan mengutip as-Suja`i berkata: "Sa`id ibn 'Atharid meriwayatkan bahwa barangsiapa membaca shalawat ini tiga kali ketiga pagi menjelang dan pada waktu sore, maka dosa-dosanya akan dilenyapkan dan kesalahan-kesalahannya akan dihapus.  Dia akan selalu bahagia, doanya dikabulkan, angan-angannya tercapai dan akan dibantu dalam mengalahkan musuhnya,"

"Ya Allah, bershalawatlah untuk Muhammad di kalangan orang-orang terdahulu dan bershalawatlah untuk Muhammad di kalangan orang-orang kemudian. Ya Allah, bershalawatlah untuk Muhammad di kalangan para nabi dan bershalawatlah untuk Muhammad di kalangan para rasul, serta bershalawatlah untuk Muhammad di kalangan (makhlukMu) yang berada di tempat tertinggi     hingga hari pembalasan."


Disarikan dari Bershalawat untuk Mendapat keberkahan Hidup/Afdhal as-Shalawat `ala Sayyid as-Sadat, Syaikh Yusuf bin Ismail Nabhani

Shalawat yang Senilai dengan 100 Ribu Shalawat



Artinya :

Diriwayatkan bahwa Sulthon Mahmud AI Gornawiy, Beliau di awal pemerintahannya duduk setelah Sholat subuh sibuk membaca sholawat kepada Nabi Muhammad SAW sebanyak 300 ribu x (kali) sampai siang hari dan orang-orang (Rakyatnya) duduk di pintu, menunggu 'keluarnya (Shulton Mahmud) untuk menyelesaikan hajatnya setelah keadaan ini berlangsung lama, maka Beliau melihat Nabi SAW di dalam tidumya Nabi mengatakan kepadanya "Apa ini pemanjangan waktu sehingga rakyatmu telah menunggu keluarnya kamu"; maka Sulthon Mahmud menjawab saya duduk menghabiskan waktu lama karna saya bersholawat kepadamu dalam jumlah tertentu (300 ribu kali) dan saya tidak berdiri sebelum selesai. Maka Nabi Muhammad SAW mengatakan kepadanya "Ini menyusahkan Orang lemah (Rakyatmu) dan yang punya hajat"; akan tetapi saya (Nabi) akan mengajarkan kepadamu Sholawat yang ringkas, yang mana apabila kamu membacanya satu kali sebanding 100 ribu kali, jadi kamu tinggal membaca 3 x kali saja sudah sebanding 300 ribu kali,, setelah itu kamu keluar menemui rakyatmu untuk menyelesaikan urusan-urusan mereka, sehinggga kamu mendapat pahala Sholawat 300 ribu kali dan mendapat pahala memberi manfaat kepada Orang Muslimin, maka diapun (Sulthon Mahmud) mempelajari Sholawat itu dari Nabi Muhammad SAW lalu dia mengamalkannya secara rutin. Setelah itu Beliau melihat Nabi Muhammad SAW lagi yang kedua kalinya dan Nabi SAW mengatakan kepadanya "Amalan apa yang kamu amalkan sehingga kamu melelahkan Malaikat di dalam mencatat pahala amalanmu"; Maka beliau menjawab, Saya tidak mengamalkan sesuatu kecuali sholawat yang Kau ajarkan kepadaku.


Berikut dibawah ini adalah shalawat tersebut


Keterangan : Sumber ini didapat dad Kitab Al-Qirtos fi Manaqib Al Attas

Seharusnya Merekalah yang Kita Jadikan Idola

Ada seorang ulama yang berjalan kaki sejauh 30 km dari kotanya menuju kota lain untuk mencari fakir miskin, setiap fakir miskin yang beliau temui ia berikan uang dan ketika seluruh uangnya habis untuk beliau sedekahkan, barulah beliau pulang ke rumahnya dan itu beliau secara istiqamah setiap hari Jum`at sampai beliau meninggal, terus bagaimana dengan kita? yang ketika seorang peminta-minta datang ke rumah kita (tanpa kita perlu bersusah payah mencarinya), kita katakan besok, besok dan tanpa malu-malu di dalam setiap munajat kita selalu berdoa Ya Allah tambahkan dan luaskanlah rezkiku. dan Allah juga akan mengatakan besok,besok (ALANGKAH BAIKNYA KALAU ORANG SEPERTI BELIAU INI KITA JADIKAN IDOLA, SEHINGGA MUNCULLAH SEMANGAT UNTUK BERSEDEKAH, DAN KALAU SELURUH RAKYAT INDONESIA MEMPUNYAI IDOLA SEPERTI INI, MAKA YANG NAMANYA PEMINTA MINTA SUDAH TIDAK ADA DI BUMI INDONESIA INI)

Ada seorang lelaki yang datang dari madinah menuju damsyik menemui Abu Darda hanya untuk mendengarkan satu hadits. Lelaki itu berkata, “Wahai Abu darda, aku datang dari Madinah untuk mempelajari satu hadits darimu, karena aku diberitahu bahwa engkau adalah orang yang mendengar langsung dari Rasulullah SAW…”
Abu Darda berkata, “Apakah kamu mempunyai tujuan lain ke Damsyik?”
Orang itu menjawab, “tidak”

Abu Darda bertanya lagi,”Apakah kamu yakin bahwa kamu tidak mempunyai tujuan lain selain dari itu untuk pergi ke Damsyik?” 

Orang itu menjawab, “Aku datang ke tempat ini semata-mata untuk mempelajari hadits ini.”

Abu Darda berkata, “Dengarlah, aku telah mendengar dari Rasulullah bahwa beliau bersabda, ‘Allah akan memudahkan jalan ke surga kepada seseorang yang berjalan beberapa jauh untuk mencari ilmu pengetahuan. Para malaikat pun akan menghamparkan sayap-sayap mereka di bawah kakinya dan semua mahluk yang berada di langit dan di bumi akan mendoakan agar di memperoleh ampunan. Kelebihan seseorang yang berpengetahuan daripada seorang yang hanya beribadat adalah seperti kelebihan bulan dari bintang-bintang. Para ulama adalah sebagai pewaris rasulullah dan warisan Rasulullah bukanlah Dinar (uang emas) ataupun Dirham (uang perak) tetapi ilmu pengetahuan. Barang siapa mengambilnya, berarti ia memperoleh kekayaan yang tidak ternilai banyaknya.” (Ibnu Majah)

Sya`bi rah.a adalah seorang muhaddits yang terkenal dari kufah. Suatu ketika beliau pernah meriwayatkan satu hadits kepada salah seorang muridnya dan berkata, “Sekarang dengan duduk di tempat tinggal kalian sendiri, kalian dapat mendengarkan dan mempelajari satu hadits. Padahal dahulu untuk mempelajarinya dari segenap pelosok dunia mereka terpaksa pergi ke Madinah, karena ketika itu Madinah adalah satu-satunya tempat untuk belajar.”

Sa`id bin al Musayyab adalah Tabiin yang termahsyur, ia berkata, “Untuk mempelajari satu hadits saja, terpaksa aku mengembara dengan berjalan kaki selama beberapa hari lamanya”. Imam Abdullah Bin Alwi Al Haddad mengatakan “Tidaklah ilmu yang aku miliki ini datang begitu saja, tetapi aku menghadiri majelis ulama dimana dalam sehari tidak kurang dari 16 majelis ilmu aku datangi”. Lihatlah Imam Abdullah Bin Alwi Al Haddad seorang ulama besar yang mana kedua mata beliau buta menghadiri 16 majelis ilmu setiap harinya, terus bagaimana dengan kita? Yang di daerah kita mungkin ada majelis ilmu (apalagi kalau kita mempunyai kendaraan sendiri), kita masih malas mengunjunginya?. (ALANGKAH BAIKNYA KALAU ORANG SEPERTI MEREKA KITA JADIKAN IDOLA, SEHINGGA MUNCULLAH SEMANGAT UNTUK MENUNTUT ILMU, DAN KALAU SELURUH MUSLIMIN INDONESIA MEMPUNYAI IDOLA SEPERTI MEREKA, MAKA INSYA ALLAH KITA MEMPOREH PEMAHAMAN KEAGAMAN YANG CUKUP SEHINGGA YANG NAMANYA ALIRAN SESAT MUNGKIN SUDAH TIDAK ADALAGI DI BUMI INDONESIA INI)

Marilah saudaraku kita bersama-sama mengidolakan Sayyidina Muhammad Saw, para sahabat beliau, para ulama dan shalihin, bukan artis, artis itu belum jelas, apakah wajah mereka sering terkena air wudhu atau tidak, apakah mereka sering bersujud kepada Allah atau tidak. Salah satu cara agar kita mengidolakan Sayyidina Muhammad Saw, para sahabat beliau, para ulama dan shalihin adalah dengan sering membaca biografi mereka.

Barang siapa memperhatikan sejarah hidup para Salaf (orang-orang saleh terdahulu), maka dia akan menyadari kekurangan pada dirinya serta akan mengetahui betapa rendahnya kedudukan dirinya di Sisi Allah dibandingkan pangkat dan derajat mereka”
( Asy-Syaikh Abu Hamdun Al-Qashar An-Naisaburi)