Sabtu, 23 Oktober 2010

E-book Maulid Dibai (Scan Kitab)


Satu karya mawlid yang masyhur dalam dunia Islam ialah mawlid yang dikarang oleh seorang ulama besar dan ahli hadits iaitu Imam Wajihuddin 'Abdur Rahman bin Muhammad bin 'Umar bin 'Ali bin Yusuf bin Ahmad bin 'Umar ad-Diba`ie asy-Syaibani al-Yamani az-Zabidi asy-Syafi`i.
 

Beliau dilahirkan pada 4 haribulan Muharram tahun 866H dan wafat hari Jumaat 12 Rajab tahun 944H. Beliau adalah seorang ulama hadits yang terkenal dan tiada tolok bandingnya pada masa hayatnya. Beliau mengajar kitab Shohih Imam al-Bukhari lebih dari 100 kali khatam. Beliau mencapai darjat Hafiz dalam ilmu hadits iaitu seorang yang menghafal 100,000 hadits dengan sanadnya. Setiap hari beliau akan mengajar hadits dari masjid ke masjid. Di antara guru-gurunya ialah Imam al-Hafiz as-Sakhawi, Imam Ibnu Ziyad, Imam Jamaluddin Muhammad bin Ismail, mufti Zabid, Imam al-Hafiz Tahir bin Husain al-Ahdal dan ramai lagi. Selain daripada itu, beliau juga seorang muarrikh, yakni ahli sejarah, yang terbilang. Di antara kitab karangannya ialah :
  
* "Taisirul Wusul ila Jaami`il Usul min Haditsir Rasul" yang mengandungi himpunan hadits yang dinukil daripada kitab hadits yang 6.

* "Tamyeezu at-Thoyyib min al-Khabith mimma yaduru 'ala alsinatin naasi minal hadits" sebuah kitab yang membezakan hadits sahih dari selainnya seperti dhaif dan maudhu.
 

* "Qurratul 'Uyun fi akhbaril Yaman al-Maimun".

* "Bughyatul Mustafid fi akhbar madinat Zabid".

* "Fadhail Ahl al-Yaman".


Silahkan Download E-book Maulid Dibai (ScanKitab) di bawah ini :

Menyingkap Propaganda Fikih Umar (2)


Berbicara tentang fikih Umar ra., terlintas pertanyaan di benak kita; benarkah sahabat yang diberi gelar al-faruq (pemisah antara haq dan bathil) oleh Rasulullah saw. itu telah melanggar ketentuan hukum al-Qur’an dan hadits? Berani-beraninya dia mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan nash sharih? Jawabnya, bisa iya, bisa juga tidak. Tergantung ideologi dan kepentingan ‘juri’nya. Namun yang jelas, fenomena tentang Fikih Umar ra. telah membawa angin segar dan menjadi vitamin tambahan bagi kelompok liberal.

Sepintas lalu, keputusan Umar ra. yang tidak memberikan zakat kepada dua pemuda yahudi yang baru masuk Islam (mu’allaf qulubuhu), tidak memotong tangan pencuri, tidak membagi-bagikan tanah ghanimah Syiria dan Irak kepada tentara muslimin—dan seabrek kasus lainnya—bertentangan dengan nash-nash sharihshorih al-Qur’an dan hadits. Namun, seandainya kita lebih jeli dalam membaca sejarah serta teliti dalam memahami nash, niscaya kita akan mengerti dan sadar bahwa semua kebijakan Umar ra. tidak pernah menyalahi nash al-Qur’an maupun hadits.
Dalam berbagai literatur sejarah disebutkan, terjadi tiga kasus pencurian di masa pemerintahan khalifah Umar ra. yang kemudian tidak dihukum potong tangan. Pencurian pertama dan yang kedua di saat terjadi krisis ekonomi di kalangan Arab saat itu. Dan kedua pencuri tersebut mengaku sangat terpaksa untuk menyambung hidup. Khalifah Umar ra. kemudian beralasan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “tidak ada potong tangan di masa peceklik” (al-Mabsuth juz 10). “Orang yang terpaksa saja diperbolehkan makan bangkai yang sedianya diharamkan oleh Allah” kata Umar ra. menguatkan argumentasinya.

Sedang kasus pencurian lainnya adalah salah satu budak Abdullah bin Amr bin al-Hadlromi yang mencuri harta tuannya. Khalifah Umar ra. tidak memotong budak itu karena dalam kasus tersebut masih mengandung syubhat; bahwa kesejahteraan hidup seorang budak menjadi tanggung jawab sang tuan. Jika kemudian si budak mencuri harta tuannya semata demi sesuap nasi, itu berarti tuan itu tidak memperhatikan hak-hak si budak, sehingga dalam harta curian tersebut terdapat hak si budak. “Menggagalkan had lebih baik dari pada melaksanakannya dalam kasus yang masih syubhat” kata Umar. Hal ini sesuai dengan pesan Nabi saw. “Hindarilah memberikan siksaan kepada orang Islam sebisa mungkin. Karena Imam yang keliru memberi ampunan itu lebih baik dari pada keliru memberikan siksaan. Jika kalian masih menemukan jalan keluar, maka hindarilah had itu”. Dengan demiakian, berarti keputusan Umar ra. juga berdasarkan nash hadits dan al-Qur’an. Begitu pula dengan keputusannya menangguhkan zakat kepada dua pemuda yahudi yang mengaku mu’allaf

Ada tiga kelompok orang yang tergolong dalam katagori ini. Pertama, orang kafir yang diharapkan keluluhan hatinya agar masuk Islam Kedua, pembesar orang musyrik/kafir yang diharapkan agar tidak memusuhi umat muslim. Ketiga, orang yang baru Islam dan imannya masih labil. (Dr. Nadiah Syarif, 1987: 271).

Dalam hadits riwayat Muslim disebutkan, Nabi Muhammad saw. pernah memberikan zakat kepada orang muallaf kafir, di antaranya kepada Shafwan bin Umayyah. Pemberian zakat kepada mereka disebabkan karena umat Islam saat itu masih sedikit. Setelah beliau wafat, ketika umat Islam kuat, para khalifah yang empat tidak ada memberikan zakat kepada mereka. Di masa khalifah Umar ra., umat Islam sedang mencapai puncak kejayaannya setelah menamatkan sejarah kejayaan Persia di Iran dan hanya bersaing dengan Imperialis Romawi. Maka kemudian munncul pertanyaan, masih adakah orang yang masuk muallaf? Umar ra. menjawab, “Dulu, Rasulullah saw. memang pernah memberikan zakat kepada kalian, karena saat itu umat Islam masih sedikit. Tapi, kini Allah telah memuliakan agama Islam dan kaum muslimin. Maka, pergilah! Jika kau ingin beriman, berimanlah. Jika ingin kafir, kafirlah!”. Konklusinya, keputusan khalifah Umar ra. tidak memberikan zakat kepada mereka bukan bertentangan dengan al-Qur’an, tapi karena memang sudah tidak ada muallaf lagi. 

Dari sini jelas bahwa tindakan revolusioner Umar ra. di atas tidak bertentangan pesan dan sabda agama. Apa yang ia lakukan hanya sebatas reinterpretasi terhadap nash sesuai dengan konteks sosial kala itu, dengan mempertimbangkan nash-nash yang lain. Nah, kontekstualisasi ala Umar ra. inilah yang tidak sepenuhnya terjamah oleh pemikiran intelektual Islam modern; di mana semangat keadilan, demokrasi dan toleransi serta jargon-jargon iblistis lainnya sangat dominan dalam pengambilan hukum. Akibatnya, yang terjadi kemudian adalah marginalisasi peran nash al-Qur’an dan hadits. Jadi, sekali lagi, tidak ada standart ganda bagi seorang Umar ra.. Otoritas nash tetap berada di atas segalanya. Baginya, posisi akal hanya sebatas menafsiri tidak sebagai hakim utama. Memang betul bahwa al-Qur’an adalah sebagian dari firman Allah, bukan seluruhnya. Tapi, kita mesti sadar bahwa otak kita terlalu najis untuk membaca firman Allah yang lain yang tidak termaktub itu. Firman Allah—baik yang termaktub atau tidak—bukan barang murahan yang siapa pun bisa membacanya.

Kisah bahwa Umar ra. pernah menarik baju Rasulullah saw. sampai tiga kali ketika beliau hendak menshalati janazah Abdullah bin Ubai (pimpinan kaum munafiq) adalah bukti nyata bagaimana kegigihan seorang Umar ra. membela perintah dan larangan al-Qur’an, di hadapan Rasulullah saw. sekalipun. Alhasil, penilain tak adil kelompok liberal terhadap fikih Umar ra. adalah fitnah dan berupa propaganda belaka untuk menjustifikasi dan melegetimasi ‘ajaran’ barunya. 

Dus, zaman terus berkembang. Pesan agama yang berupa al-Qur’an dan hadits—sebagai sumber utama agama—harus dipahami secara kontekstual sesuai dengan kemaslahatan dan realitas masyarakat. karena???(). Tapi, semangat suci ini tidak bisa dengan cara memaksa-maksakan kehendak Tuhan—dengan rumusan hermeneutika yang sok hebat—agar adaptip dengan zaman atau pembatasan otoritas nash pada ruang dan waktu tertentu di mana nash itu ditegaskan. Karena cara ini, kata Dr. Yusuf al-Qordlowi, sama halnya dengan kita meragukan kekuasaan Allah swt. “Dengan melakukan pembatasan otoritas nash berarti kita telah melecehkan Allah. Dianggapnya Allah swt. tidak mengetahui keadaan hamba-Nya yang akan datang. Allah maha mengetaui yang telah lalu dan yang akan datang. Semua kebijakannya menyimpan sejuta hikmah. Hanya orang kafir saja yang mengingkari hikmah-Nya” Dr. Al-Qordlowi, 1417 H).

Di bagian akhir tulisannya, ulama terkemuka asal Mesir ini melontarkan sebuah pertanyaan menarik, “Mengapa kehendak Tuhan yang harus disesuaikan dengan kemauan manusia? Mengapa bukan hamba dunia itu yang harus disesuaikan dengan kehendak Tuhan?” hayya natafakkar.

Menyingkap Propaganda Fikih Umar (1)

Ketika sebuah wacana keislaman ditawarkan, terlebih jika wacana itu bersifat ‘melawan arus’ yang melabrak-labrak, maka lahir berbagai macam aksi dan tanggapan. Ada yang mendukung dan ada pula yang menantang. Hal ini wajar. Dan, semangat intelektual itu perlu dihargai dengan memberikan ruang waktu yang cukup untuk membuktikan kebenarannya. Yang tidak wajar adalah jika barang baru itu—meminjam istilahnya Nurcholis Madjid—berupa usaha menghalalkan kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya. 

Seperti halnya dengan gerakan Islam leberal yang diusung oleh sebagian kelompok intelektual muda Islam dalam konteks negara kita, yang kemudian menjadi polemik berkepanjangan. Bahkan salah satu anggota gerakan tersebut diajukan kepengadian oleh pihak lawan (kaum fundamentalis) agar dihukum mati, dengan tuduhan telah melecehkan Allah, Rasul dan agama-Nya. 

Terlepas dari polemik di atas, diakui atau tidak, dinamika pemikiran intelektual muslim adalah suatu keniscayaan sejarah, sunnatullah bagi umat Islam sebagai salah satu upaya mencari kebenaran dan mensinergikan pesan-pesan Islam (al-Qur’an dan hadits) dengan perubahan sosial. Pun pula, diperlukan kontekstualisasi—atau bahkan aktualisasi—untuk menjawab berbagai macam problematika kekinian yang terus berkembang. Permasalahan selanjutnya, seberapa pantaskah kita harus melakukan kajian dan aktualisasi terhadap ayat-ayat al-Qur’an? Di sinilah, pertarungan dan ketegangan dua kelompok (fundamentalis dan leberalis) itu mengemuka. Bagi kaum fundamentalis, meski pintu ijtihad masih—dan akan terus—terbuka, tapi untuk saat ini tak seorang pun yang mampu memasukinya, mengingat hal itu perlu kwalitas keilmuan yang tinggi. Maksimal yang bisa dilakukan adalah, istinbat jama’i (penggalian hukum secara kolektif), seperti hasil munas Alim Ulama NU di Lampung beberapa tahun yang lalu. 

Beda halnya dengan kalangan liberalis, kelompok yang dipelopori oleh kaum intelektual muda ini justeru melihat bahwa upaya mengembangkan pesan al-Qur’an dalam konteks perubahan sosial dan budaya harus tetap dilakukan, agar al-Qur’an tetap dinilai universal dan fleksibel. Dan, dalam dinamika itu, kata Cak Nur, kita tak perlu takut salah, karena takut salah adalah kesalahan yang sangat fatal. Toh, lanjut mereka, hanya Nabi Muhammad saw. lah yang paling mengerti dan faham terhadap maksud dan tujuan al-Qur’an. Tak ada kebenaran tunggal dalam menafsiri ayat al-Qur’an selain beliau, tidak pula para sahabat Nabi, karena para sahabat juga manusia yang tidak ma’shum. Dan beliau tidak pernah menentukan siapakah yang berhak menafsiri al-Qur’an. Lebih ekstrim lagi, mereka tidak hanya membuka/memberi peluang kepada siapa pun untuk menafsiri al-Qur’an, bahkan mereka juga membatasi peran al-Qur’an (baca: Syariat Demoktarik, karya Muhammad Mahmoud Toha). Bagi mereka, ketika pesan-pesan al-Qur’an dan hadits sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman yang semakin maju, maka kita boleh tidak menggunakannya, berijtihad sendiri senyampang tidak bertentangan dengan prinsip keadilan dan demokrasi yang juga merupakan salah satu unsur terpenfing dalam ajaran Islam. 

Upaya mengembangkan nushush syariah dalam konteks perubahan sosial dan budaya adalah misi suci, dan itu perlu didukung. Hanya, misi suci harus ditempuh melalui cara dan metode yang suci pula, serta didukung oleh kwalitas keilmuan yang memadai. Itu prinsip. Kita tidak bisa menghalalkan berbagai macam cara untuk itu. Prinsip keadilan dan demokrasi tidak cukup untuk dijadikan modal menafsiri teks-teks al-Qur’an dan hadits sehingga adaptip dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Liberalisasi pemikiran semacam itu, justeru akan melahirkan produk hukum yang bertentangan dengan ajaran Islam sendiri, dan ini adalah wujud lain dari anarkhi intelektual. Sabda Nabi, “Barang siapa yang menafsiri al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri, maka carilah tempat untuknya di neraka”, na’udzubillah.

Satu hal yang sering dijadikan senjata oleh kelompok muda ini adalah Fikih Umar. Khalifah Rasulullah kedua ini, menurut mereka, ternyata sering mengeluarkan keputusan hukum yang tidak ada—atau bahkan bertentangan dengan—al-Qur’an dan hadits. Sehingga beliau sering kali mendapat kecaman dari sahabat yang lain, dan kemudian hasil ijtihadnya diterima sahabat yang lain. Salah satu contoh, kasus pencurian yang terjadi di masa keperintahannya. Beliau tidak memotong tangan sang pencuri, bahkan hanya memerintah agar mengembalikan harta curian tersebut dua kali lipat. Padahal dalam al-Qur’an telah termaktub, “Pencuri baik lelaki atau perempuan, maka potonglah tangannya”. Contoh lain adalah bahwa Umar ra. pernah tidak memberikan zakat kepada dua orang yahudi yang baru masuk Islam, padahal mereka termasuk salah satu dari delapan golongan yang berhak menerimanya (al-mu’allaf qulubuhum), serta masih banyak contoh yang lain. 

Ijtihad-ijtihad Umar bin Khathtab ra. (baca: Fikih Umar) inilah yang kemudian dijadikan tameng oleh kelompok leberalis bahwa sesekali boleh tidak mengikuti ketentuan al-Qur’an atau hadits yang bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan demokrasi (dalam persepsi otak mereka sendiri), seperti dalam masalah warisan, hukum pidana, dan bab suami-istri. Dalam tiga bab tersebut, kata mereka, ketentuan dalam nash al-Qur’an dan hadits sudah tidak relevan lagi dengan konteks budaya negara kita. Di sinilah kerancuannya, ketika emosi sudah mengalahkan logika maka anakhi intelektual akibatnya. 

Sayidina Umar bin Khathtab ra, seperti halnya sahabat Nabi yang lain, adalah orang yang mengaksikan langsung proses dan asbabunnuzul-nya ayat al-Qur’an. Jadi, merekalah umat Nabi Muhammad yang paling mengerti dan faham akan tujuan dan maksudnya. Namun demikian, para sahabat tetap kembali kepada al-Qur’an dan sunnah Nabi dalam setiap menghadapi problematika umat saat itu. Tak ada standart ganda. Kecuali jika sudah tidak ditemukan lagi dalam nash, baru kemudian mereka menggunakan akal (baca: ijtihad). Dan hal ini wajar buat para sahabat, mengingat mereka adalah ‘murid’ pertama dan berguru langsung kepada Nabi. Hanya orang syirik saja yang mungkin mengingkari kwalitas keilmuannya. 

Lantas, bagaimana dengan tuduhan bahwa ijtihad Umar sering tidak sesuai dengan nash-nash syara’?