Senin, 01 November 2010

Ramainya Pasar Kemunafikan dan Mall Kedustaan

Suatu hari Joko naik angkot menuju rumahnya, di tengah perjalanan ia terjebak kemacetan, ternyata di depan ada sekelompok mahasiswa yang melakukan demo mengenai kenaikan harga BBM.  Mereka menutup sebagian badan jalan dan membakar ban bekas (joko tidak dapat membayangkan, bagaimana jika ada mobil ambulance dimana di dalamnya ada seorang yang lagi sekarat  dan segera membutuhkan pertolongan atau seorang ibu yang sudah ingin melahirkan terjebak dalam kemacetan ini, haruskah demo dengan menutup jalan? tanya joko dalam hati).

"Menaikkan harga BBM di tengah keterpurukan ekonomi saat ini adalah sebuah bentuk kedzaliman, lawan kedzaliman, hapuskan kedzaliman dari negeri ini," sayup-sayup terdengar suara dari kerumunan pendemo.  Joko mengangkat pandangannya menuju sumber suara itu, ternyata yang berbicara itu adalah kak Anton, seniornya di kampus.  Tiba-tiba tawanya meledak, seisi angkot menatapnya, ”kenapa adik tertawa?, apakah adik senang dengan kenaikan harga BBM ini,” tanya ibu berjilbab merah jambu yang duduk di depannya. ” Bu, di zaman sekarang ini yang namanya pasar kemunafikan dan mall kedustaan makin ramai saja," "Maksud anda?,"  tanya  si pemuda yang berpakaian junkies dengan rambut ala mohawk dan anting di telinga kirinya memotong penjelasan Joko (kata orang sich ini namaya anak gaul, tetapi kalau kita mau berpikir lebih dalam, sebenarnya ia adalah korban mode, jadi selanjutnya kita panggil saja si korban mode).

"Apakah anda mengenal lelaki yang mengenakan kaos merah bergambar Che Guevara itu, joko menunjuk salah seorang di antara pendemo itu."Si korban mode menggelengkan kepalanya," dia itu senior saya di kampus namanya kak Anton. Dialah yang tadi mengatakan ”Menaikkan harga BBM di tengah keterpurukan ekonomi saat ini adalah sebuah bentuk kedzaliman, lawan kedzaliman, hapuskan kedzaliman dari bumi Indonesia ini” dan perlu anda ketahui, seminggu yang lalu ia mengospek kami dengan begitu dzalim.  Tamparan, pukulan, tendangan, cacian, makian dan berbagai bentuk kekerasan fisik dan mental menjadi makanan kami sehari-sari selama menjalani OSPEK.  Hari ini ia berkoar-koar untuk melawan dan menghapus kedzaliman.  Apakah itu bukan suatu hal yang lucu, menggelikan sekaligus memuakkan?."  Joko berhenti sejenak, lalu ia melanjutkan penjelasannya dengan nada tinggi.
"Inilah zaman dimana pasar kemunafikan dan mall kedustaan makin ramai saja

Banyak orang mengatakan LAA ILAHA ILLALLAH (tidak ada tuhan selain Allah), tetapi mereka menuhankan mahluk, harta, tahta dan wanita
Banyak orang mengatakan ALLAHU AKBAR (Allah Maha Besar), tetapi yang besar di hati mereka adalah mahluk, harta, tahta dan wanita.

Dan tentu saja, banyak orang yang berteriak-teriak melawan kedzaliman, sedang ia sendiri adalah pelaku kedzaliman." 

"Saya juga mahasiswa seperti anda dan mengalami apa yang anda alami," kata Si Korban Mode.  "Saya juga tidak habis pikir mengapa para senior  mengospek kami dengan begitu kejam, apakah mereka suka, senang dan bahagia ketika mereka diospek dulu.  Mengapa tidak ada ada yang berlapang dada dengan berprinsip cukup saya saja yang mengalaminya, dan saya akan menjadi senior yang menjadikan ospek tanpa adanya kekerasan baik fisik maupun mental.  Jadi apa yang yang anda istilahkan dengan ramainya pasar kemunafikan dan mall kedustaan itu benar adanya.  Kita membenci para koruptor kenapa bukan kita yang korupsi, kita membenci maling kenapa bukan kita yang maling, setelah ditindas kita mempersiapkan kekuatan untuk balik menindas, setelah dizalimi kita menyusun barisan untuk balik mendzalimi, setelah diperbudak menyatukan langkah untuk memperbudak”.

"Hehe, betul apa yang adik-adik katakan itu," kata pak tua yang duduk di samping Joko. Inilah potret negeri yang kita cintai ini, ramainya pasar kemunafikan dan mall kedustaan disebabkan karena kita-kita ini mengidap penyakit kronis.  "Penyakit apa itu pak?" tanya penumpang lainnya serempak. "Penyakit itu bernama kegersangan spiritual.  Sewaktu saya muda dulu, masih terdengar sayup-sayup suara orang membaca Al-Qur`an dari rumah mereka setelah waktu Magrhib.  Tapi sekarang, kita ini lebih suka menonton sinetron, lebih suka menonton kontes nyanyi dan berbagai macam acara di TV.  Setelah acara itu selesai barulah kita shalat maghrib, shalat maghrib mendekati waktu isya.  Bagi kita, Allah hanyalah waktu sisa."

"Saya setuju dengan bapak," kata pak sopir yang sedari tadi asyik mendengarkan perbincangan mereka. "Bagaimana di negeri ini orang-orang tidak mengalami kegersangan spiritual, orang-orang lebih mengidolakan artis dibanding Rasulullah Muhammad SAW, para ulama dan shalihin. Padahal artis itu belum jelas, apakah wajah mereka sering terkena air wudhu atau tidak, apakah mereka sering bersujud kepada Allah atau tidak.  Akibatnya kita jauh dari agama, jauh dari ulama, kurang mengenal Allah, kurang mengerti halal dan haram, tidak takut dan cinta kepadaNya."

”Bukan hanya itu, sambung joko.  Ada kecendrungan teman-teman saya di kampus lebih tertarik untuk mengkaji pemikiran Karl Max, Jean Paul Sastre, Heidegger, Hegel, Nietzche, Che Guevara dibanding ulama-ulama besar sekaliber Syeikh Abdul Qadir Jaelani, Imam Al-Ghazali, Imam Nawawi, Imam Ibnu Athaillah dan yang lainnya.  Apakah Jean Paul Sastre, Heidegger, Hegel, Nietzche dan yang lainnya itu lebih zuhud, lebih wara, lebih tawadhu, lebih ikhlas dan lebih takwa dibanding ulama-ulama semisal Syeikh Abdul Qadir Jaelani, Imam Al-Ghazali, Imam Nawawi dan Imam Ibnu Athaillah?.   Akibat dari sikap seperti ini, kita jauh dari pesan spiritual dan kalam hikmah para ulama dan itu makin menambah kegersangan spiritual kita.  Kegersangan spirituallah yang mengakibatkan munculnya sifat munafik, dzalim, rakus, serakah, suka menindas dan sifat-sifat tercela lainnya.  sifat-sifat tercela ini merupakan bencana moral bagi kita, bencana moral yang akan mengakibatkan timbulnya bencana alam.”

"Negeri ini memang menyimpan 1001 masalah di berbagai sektor, mana ada sich urusan yang lancar tanpa uang pelicin di negeri ini," ibu berjilbab merah jambu yang duduk di depan  Joko juga ikut bicara.  Selanjutnya diikuti oleh seisi angkot (kecuali anak berseragam SMP yang duduk di dekat pintu keluar), masing-masing dari mereka mengeluarkan keluh kesah mengenai kondisi negeri ini.  Ada yang mengeluh mengenai mahalnya biaya pendidikan, mahalnya harga barang kebutuhan pokok, Ada yang mengeluh mengenai sikap elit politik yang saling menjatuhkan, Ada yang mengeluh mengenai  aset-aset negara yang dijual ke asing dan berbagai macam keluhan lainnya.

Suasana diatas angkot itu kini berubah menjadi ajang keluh kesah terhadap negeri yang mereka diami, mereka bangga dan tak mau kalah dengan keluhannya masing-masing.  "Maaf bapak-bapak dan ibu-ibu” anak berseragam SMP yang duduk di dekat pintu keluar itu buka suara, "saya juga prihatin dengan kondisi negeri ini, tapi apakah dengan mengeluhkannya permasalahan negeri ini akan selesai?.  Seandainya mengeluh itu menyelesaikan masalah, maka marilah kita mengeluh berjamaah.  Permasalahan bangsa ini akan teratasi jika kita masing-masing memperbaiki diri, setelah itu memperbaiki keluarga kita, selanjutnya masyarakat kita dan negeri yang kita cintai ini.  Sebagaimana yang pernah dikatakan Syaikh Abdul-Qadir Al-­Jailani Wahai ghulam, nasihatilah dirimu terlebih dahulu, barulah kemudian menasihati orang lain. Engkau harus lebih memperhatikan nasib dirimu. Janganlah engkau menoleh pada orang lain sedangkan dalam dirimu masih ada sesuatu yang harus diperbaiki. Celaka Engkau. Engkau ingin menyelamatkan orang lain sedangkan dirimu sendiri dalam keadaan buta. Bagaimana orang buta dapat menuntun orang lain? Yang bisa menuntun manusia hanyalah orang yang dapat melihat. Yang bisa menolong mereka dari tenggelam di lautan hanyalah orang yang tangkas berenang.”

Semua penumpang diatas angkot itu terdiam, anak berseragam SMP itu telah menampar kesadaran mereka bahwa keluhan-keluhan yang mereka muntahkan itu  sungguh tidak akan menyelesaikan masalah.
"Turun, turuuun..., tiba-tiba sekelompok orang menghadang angkot yang mereka tumpangi.  "Ada apa,” tanya pak sopir kepada salah seorang diantara mereka.  Begini pak, mulai pukul 12.00 siang ini, seluruh angkot di kota ini harus berhenti beroperasi, ini sebagai protes agar  tarif angkutan umum harus segera dinaikkan menyusul kenaikan harga BBM.  Maka dengan berat hati pak sopir menyuruh penumpangnya turun.  Kini tak pun satu angkot beroperasi, Joko melanjutkan perjalananya dengan berjalan kaki, selama dalam perjalanan ia selalu terngiang-ngiang dengan perkataan anak berseragam SMP di angkot yang ia tumpangi tadi.  Sebenarnya ia agak gengsi juga dinasehati oleh seorang pelajar SMP, tapi ia teringat nasehat Imam Ali Bin Abi Thalib "Usahlah kau lihat dari mana datangnya, tapi lihatlah apa yang ia katakan.”

Makassar, 19 Juni 2008