Senin, 18 Oktober 2010

Merasa rugi

Sudah tiga tahun kubiarkan begitu saja radioku yang rusak berada di dalam kamarku, radio yang dulunya kugunakan untuk mendengarkan tausiyahnya Aa Gym , radio yang dulunya kugunakan untuk mendengarkan esainya Asdar Muis RMS dan radio yang dulunya kugunakan untuk mendengarkan tausiyahnya ustad Das`ad Latief menjelang adzan Maghrib.  Radio itu kubiarkan begitu saja tanpa ada perasaan rugi sama sekali. Rugi tidak lagi mendengarkan Tausiahnya Aa gym dan Das`ad Latief, rugi tidak lagi mendengarkan esainya Asdar Muis RMS.  

Suatu waktu aku membaca majalah Cahaya Sufi (www.sufinews.com), seseorang yang bernama Prie GS begitu mengagumkanku.  Seorang budayawan yang berbicara mengenai dunia sufi dengan ulasan yang sangat sufistik.  Menurutku,  kalau yang berbicara para Ulama maupun Mursyid Tarekat itu sih biasa, tapi kalau seorang budayawan, itu baru benar-benar mengagumkan.  

Hari demi hari terus kulalui, perasaan kagum terhadap sosok yang bernama Prie GS masih terpatri di dalam dadaku, suatu hari kulihat beliau ada di Indosiar dalam sebuah acara pukul 6 pagi WITA (saya lupa nama acaranya), beliau membawakan refleksi yang makin menambah kekagumanku padanya, sayang acara itu hanya bertahan sekitar 1 atau 2 bulan, itupun tiap hari selasa dan dibawakan oleh beberapa orang, hari ini mas Prie bawakan, besok yang lainnya.  

Rasa kagum sekaligus penasaran terhadap mas Prie GS kutindak lanjuti dengan berselancar di dunia maya, apalagi saudaraku mengatakan bahwa beliaulah yang membawakan ”sketsa indonesia” di Smart FM, sungguh semakin menambah rasa kagumku. Menggunakan paman Google kuketik Prie GS+mp3 dan berbagai variasi keyword lainnya dengan harapan mendapatkan web/blog pribadinya maupun koleksi file mp3 di Smart FM, namun hasilnya nihil, tak kutemukan web/blog pribadinya maupun koleksi file mp3nya(kejadian terjadi sekitar 1-2 tahun lalu).  

Beberapa minggu yang lalu kubuka website andrie wongso (yang juga didorong oleh rasa kagumku terhadap beliau), kutemai tulisan-tulisan mas Prie di sana, maka kugunakan lagi paman google, kuketik prie GS, setelah kutekan enter, Alhamdulillah disana muncul alamat website dan blognya mas Prie, kujelajahi website dan blognya, beberapa tulisan beliau saya copy, disana terpampang pula file audio dengan format mp3, kugunakan senjata andalanku untuk mendownloadnya, Internet Download Manager (senjata andalanku yang sudah 2-3 tahun menghiasi hari-hariku di dunia maya, menggatikan Internet Download Accelerator maupun Flashget).  Setelah semuanya beres, kuhentikan koneksi internetku dan menuju ke kasir membayar biaya internetku.

Ada perasaan kagum, menggelitik dan berbagai perasaan lainnya yang sulit kubahasakan setelah membaca artikel maupun mendengarkan file audionya, kesimpulannya beliau adalah penulis yang hebat, tiba-tiba muncul rasa merugi dalam diriku, selama 3 tahun radioku rusak selama itu pula aku tidak mendengarkan mas Prie di Smart FM dan perasaan merugi itu memuncak tadi pagi, ketika kubaca buku ”Aa Gym dan Fenomenia Daarut Tauhid” Aa Gym mengatakan ”...........jangan takut menghadapi masalah, tetapi takutlah tidak mendapat pertolongan Allah dalam menghadapinya” aku seperti tersengat, sungguh kalimat ini menembus relung hatiku yang paling dalam.  Bagiku Aa gym adalah sosok yang luar biasa, dengan bahasa sederhana namun ia dapat menyentuh hati para pendengarnya (begitu juga ceramah Habib Munzir al Musawa, Buya Hamka dan Ustad Yusuf Mansur), sungguh sosok yang langka untuk ukuran zaman sekarang ini, zaman dimana makin ramainya pasar kemunafikan dan mall kedustaan. Aku merasa seperti kehilangan Aa gym, selama tiga tahun radioku rusak, selama itu pula aku aku tidak mendengarkan tausiyah beliau. Sungguh sebuah kerugian yang besar bagiku.  Hari ini aku bertekad memperbaiki radioku, agar tausiyah Aa gym yang menembus kedalaman jiwaku kembali terdengar, agar refleksinya mas Prie GS yang super renyah, kritis dan menggelitik yang dapat menampar kesadaran terdalam dari setiap manusia yang mengaku masih punya akal dan perasaan kembali mengalun di rumahku.    

Tamalanrea 2 Juni 2008                                                                                                         

Mutiara di Hati Penjual Dawet

Seorang Kiai ternama, sebut saja namanya Kiai Imron, akan kedatangan beberapa pejabat dari Jakarta. Karena tamu-tamu itu di anggap penting, tentu saja Kiai Imron mempersiapkan diri sedemikian rupa. Rumahnya pun dibersihkan dan dirapikan, untuk mengantisipasi jika para tamu itu menginap. Ia juga mempersiapkan jamuan khusus untuk para tamunya itu. Nah, saat mempersiapkan untuk jamuan inilah terbersit dalam pikiran Kiai Imron untuk menyediakan es dawet (es cendol) sebagai minuman special buat para tamunya. Ia yakin para pejabat itu akan menyukai minuman khas daerah itu, karena ia yakin minuman itu tak akan ditemukan di Jakarta. Kalau pun di sana sudah ada, pasti rasanya tidak seenak dawet asli.

Maka Kiai Imron pun menemui Pak Juki, salah satu penjual dawet yang biasa mangkal di dekat alun-alun kota. Dawet buatannya memang terkenal paling enak di kawasan ini.
“Boleh saya beli dawetnya, Pak?”, ujar Kiai Imron.
“Ya tentu saja boleh, Pak Kiai. Masak saya mau bilang nggak boleh, itu kan namanya menolak rejeki,” kata Pak Juki tersenyum.
“Di minum disini atau di bungkus, Pak Kiai?”
“Di bungkus saja.”
“Berapa, Pak Kiai?”
“Semuanya.”
“Lho, maksud Pak Yai?” Pak Juki menatap wajah Pak Kiai, tak paham.
“Ya semuanya. Semua dawet yang sampean punya.”

Untuk beberapa saat penjual dawet  itu tercenung, menatap wajah Kiai Imron dalam-dalam. Tampaknya ada yang berkecamuk dalam hatinya.

“Maaf, Pak Kiai. Sepertinya tidak bisa.” Pak Juki menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Lho, kenapa? Bukankah seharusnya bapak senang karena masih pagi begini dawet bapak sudah habis. Bapak bisa langsung pulang dan beristirahat di rumah tanpa harus capek-capek bekerja.” Kali ini Kiai Imron yang terheran-heran.
“Memang benar, Pak Kiai. Tapi maaf, sepertinya saya tidak menuruti kehendak Kiai.”

Kiai Imron semakin heran dengan keteguhan penjual dawet pinggir jalan yang biasa mangkal di pagi hari hingga sore itu.
“Tolonglah. Hari ini saya akan kedatangan tamu. Saya ingin membahagiakan tamu saya itu dengan sajian dawet bapak yang terkenal enak,” ujar Kiai Imron merayu.

Pak Juki tetap menggeleng-gelengkan kepala, sambil sesekali melayani pembeli yang memesan untuk diminum di tempat.

Akhirnya Kiai Imron tak tahan untuk tahu alasan Pak Juki tak berkenan melepas semua dagangannya sekaligus.
“Maaf Pak Kiai. Alhamdullillah setiap hari yang datang untuk menikmati dawet saya cukup banyak, bahkan saya punya banyak pelanggan tetap. Hampir setiap hari mereka datang kesini. Nah, jika hari ini saya tutup lebih pagi karena dawet saya telah habis di borong Pak Kiai, Pak Kiai bisa perkirakan sendiri berapa orang yang akan kecewa gara-gara saya. Tentu saja sepagi ini saya telah menyakiti hati banyak orang.”

Pak Yai termangu-mangu mendengarnya.
“Memang saya untung banyak jika dawet ini cepat habis, tapi bukan cuma keuntungan yang saya kejar. Saya hanya ingin kehadiran saya memberikan kebahagiaan untuk orang lain, meskipun hanya dengan membuatkan dawet buat mereka, yang kata mereka cukup enak.”

Kiai Imron tak habis pikir. Pagi ini ia mendapat ilmu yang cukup berharga dari seorang penjaul dawet. Ilmu yang tidak didapatkannya dalam kajian-kajian kitab-kitab di pesantrennya. Ternyata, meski hanya sebagai penjual dawet, terdapat mutiara di hatinya. Kiai Imron pun teringat akan adagium klasik yang menyatakan, lihatlah apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang berbicara.

Usut punya usut, ternyata penjual dawet itu mengamalkan shalawat dalam kehidupan sehari-harinya.*

Sumber  :  http://alhidayahkroya.blogspot.com/