Senin, 05 September 2011

LEBARAN DUA VERSI, MUHAMMADIYAH "BIANG KEKACAUAN" ?

Kiai Ahmad Dahlan dan Kiai Hasyim Asy'ari itu sekawan, sama-sama menunut ilmu agama di Arab Saudi. Sama-sama ahli Hadis dan sama-sama ahli fikih. Saat hendak pulang ke tanah air, keduanya membuat kesepakatan menyebarkan islam menurut skil dan lingkungan masing-masing.

Kiai Ahmad bergerak di bidang dakwah dan pendidikan perkotaan, karena berasal dari kuto Ngayogyokarto. Sementara kiai Hasyim memilih pendidikan pesantren karena wong ndeso, Jombang. Keduanya adalah orang hebat, ikhlas dan mulia. Allahumm ighfir lahum.  

Keduanya memperjuangkan kemerdekaan negeri ini dengan cara melandasi anak bangsa dengan pendidikan dan agama. Kiai Ahmad mendirikan organisasi Muhammadiyah dan kiai Hasyim mendirikan Nahdlatul Ulama (NU). Saat beliau berdua masih hidup, tata ibadah yang diamalkan di masyarakat umumnya sama meski ada perbedaan yang sama sekali tidak mengganggu.

Contoh kesamaan praktek ibadah kala itu antara lain : Pertama, shalat tarawih, sama-sama dua puluh rakaat. Kiai Ahmad Dahlan sendiri disebut-sebut sebagai imam shalat tarawih dua puluh rakaat di masjid Syuhada Yogya. Kedua, talqin mayit di kuburan, bahkan ziarah kubur dan kirim doa dalam Yasinan dan tahlilan (?). Ketiga, baca doa qunut Shubuh. Keempat, sama-sama gemar membaca shalawat (diba'an).

Kelima, dua kali khutbah dalam shalat Id, Idul Ftri dan Idul Adha. Keenam, tiga kali takbir, "Allah Akbar", dalam takbiran. Ketujuh, kalimat Iqamah (qad qamat al-shalat) diulang dua kali, dan yang paling monumental adalah itsbat hilal, sama-sama pakai rukyah. Yang terakhir inilah yang menarik direnungkan, bukan dihakimi mana yang benar dan mana yang salah.

Semua amaliah tersebut di atas berjalan puluhan tahun dengan damai dan nikmat. Semuanya tertulis dalam kitaf Fikih Muhammadiayah yang terdiri dari tiga jilid, yang diterbitkan oleh : Muhammadiyah Bagian Taman Pustaka Jogjakarta, tahun 1343an H.  Namun ketika Muhammadiyah membentuk Majlis Tarjih, di sinilah mulai ada penataan praktik ibadah yang rupanya " harus beda " dengan apa yang sudah mapan dan digariskan oleh pendahulunya. Otomatis berbeda pula dengan pola ibadahnya kaum Nahdhiyyin. Perkara dalail, nanti difikir bareng dan dicari-carikan.

Disinyalir, tampil beda itu lebih dipengaruhi politik ketimbang karena keshahihan hujjah atau afdhaliah ibadah. Untuk ini, ada sebuah Tesis yang meneliti Hadis-hadis yang dijadikan rujukan Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam menetapkan hukum atau pola ibadah yang dipilih.

Setelah uji takhrij berstandar mutawassith, kesimpulannya adalah : bahwa mayoritas Hadis-Hadis yang pakai hujjah Majlis Tarjih adalah dha'if. Itu belum dinaikkan pakai uji takhrij berstandar mutasyaddid versi Ibn Ma'in. Hal mana, menurut mayoritas al-Muhadditsin, hadis dha'if tidak boleh dijadikan hujjah hukum, tapi ditoleransi sebagai dasar amaliah berfadhilah atau Fadha'il al-a'mal. Tahun 1995an, Penulis masih sempat membaca tesis itu di perpustakaan Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Ygyakarta.

Soal dalil yang dicari-carikan kemudian tentu berefek pada perubahan praktik ibadah di masyarakat, kalau tidak disebut sebagai membingungkan. Contoh, ketika Majlis Tarjih memutuskan jumlah rakaat shalat Tarawih depalan plus tiga witir, bagaimana praktiknya ?.

Awal-awal instruksi itu, pakai komposisi : 4,4,3. Empat rakaat satu salam, empat rakaat satu salam. Ini untuk tarawih. Dan tiga rakaat untuk witir. Model witir tiga sekaligus ini vrsi madzahab Hanafi. Sementara wong NU pakai dua-dua semua dan ditutup satu witir. Ini versi al-Syafi'ie.

Tapi pada tahun 1987, praktik shalat tarawih empat-empat itu diubah menjadi dua-dua. Hal tersebut atas seruan KH Shidiq Abbas Jombang ketika halaqah di masjid al-Falah Surabaya. Beliau tampilkan hadis dari Shahih Muslim yang meriwayatkan begitu. Karena, kualitas hadis Muslim lebih shahih ketimbang Hadis empat-empat, maka semua peserta tunduk. Akibatnya, tahun itu ada selebaran keputusan majlis tarjih yang diedarkan ke semua masjid dan mushallah di lingkungan Muhammadiyah, bahwa praktik shalat tarawih pakai komposisi dua-dua, hingga sekarang, meski sebagian masih ada yang tetap bertahan pada empat-empat. Inilah fakta sejarah.

Kini soal itsbat hilal pakai rukyah. Tolong, lapangkan dada sejenak, jangan emosi  dan jangan dibantah kecuali ada bukti kuat. Semua ahli falak, apalagi dari Muhammadiyah pasti mengerti dan masih ingat bahwa Muhammadiyah dulu dalam penetapan hilal selalu pakai rukyah bahkan dengan derajat cukup tinggi. Hal itu berlangsung hingga era orde baru pimpinan pak Harto. Karena orang-orang Muhammdiyah menguasai deprtemen Agama, maka tetap bertahan pada rukyah derajat tinggi, tiga derajat ke atas dan sama sekali menolak hilal dua derajat. Dan inilah yang selalu pakai pemerintah. Sementara ahli falak Nadhliyyin juga sama  mengunakan rukyah tapi menerima dua derajat sebagai sudah bisa dirukyah. Dalil mereka sama, pakai Hadis rukyah dan ikmal.  

Oleh karena itu, tahun 90an, tiga kali berturut-turut orang NU lebaran duluan karena hilal dua derajat nyata-nyata sudah bisa dirukyah, sementara Pemerintah-Muhammadiyah tidak menerima karena standar yang dipakai adalah hilal tinggi dan harus ikmal atau istikmal. Ada lima titik atau lebih tim rukyah gabungan menyatakan hilal terukyah, tapi tidak diterima oleh departemen agama, meski pengadilan setempat sudah menyumpah dan melaporkan ke Jakarta. Itulah perbedaan standar derajat hilal antara Muhammadiyah dan NU. Masing-masing bertahan pada pendiriannya.

Setelah pak Harto lengser dan Gus Dur menjadi presiden, orang-orang  Muhammadiyah berpikir cerdas dan tidak mau dipermalukan di hadapan publiknya sendiri. Artinya, jika masih pakai standar hilal tinggi, sementara mereka tidak lagi menguasai pemeritahan, pastilah akan lebaran belakangan terus. Dan itu berarti lagi-lagi kalah start dan kalah cerdas. Maka segera mengubah mindset dan pola pikir soal itsbat hilal. Mereka tampil radikal dan meninggalkan cara rukyah berderajat tinggi. Tapi tak menerima hilal derajat, karena sama dengan NU.

Lalu membuat metode  "wujud al-hilal". Artinya, pokoknya hilal menurut ilmu hisab atau astronomi sudah muncul di atas ufuk, seberapapun derajatnya, nol koma sekalipun, sudah dianggap hilal penuh atau tanggal satu. Maka tak butuh rukyah-rukyahan seperti dulu, apalagi tim rukyah yang diback up pemerintah. Hadis yang dulu dielu-elukan, ayat al-Qur'an berisikan seruan " taat kepada Allah, Rasul dan Ulil amr " dibuang dan arergi didengar. Lalu dicari-carikan dalil baru sesuai dengan selera.     

Populerkah metode "wujud al-hilal" dalam tradisi keilmuwan falak ?. Sama sekali tidak, baik ulama dulu maupu sekarang.
Di sini, Muhammdiyah membuat beda lagi dengan NU. Kalau dulu, Muhammadiyah  hilal harus berajat tinggi untuk bisa dirukyah, hal mana pasti melahirkan beda keputusan dengan NU, kini membuang derajat-derajatan secara total dan tak perlu rukyah-rukyahan. Menukik lebih tajam, yang penting hilal sudah muncul berapapun derajatnya. Sementara NU tetap pada standar rukyah, meski derajat dua atau kurang sedikit. Tentu saja beda lagi dengan NU. Maka, selamanya tak kan bisa disatukan, karena sengaja harus tampil beda. Dan itu sah-sah saja.

Dilihat dari fakta sejarah, pembaca bisa menilai sendiri sesungguhnya siapa yang sengaja membuat beda, sengaja tidak mau dipersatukan, siapa biang persoalan di kalangan umat ?.

Menyikapi lebaran dua versi, warga Muhammadiyah pasti bisa tenang karena sudah biasa diombang-ambingkan dengan perubahan pemikiran pimpinannya. Persoalannya, apakah sikap, ulah atau komentar mereka bisa menenangkan orang lain ?. 

Perkara dalil nash atau logika, ilmu falak klasik atau neutik, rubu' atau teropong moderen sama-sama punya. Justeru, bila dalil-dalil itu dicari-cari belakangan dan dipaksakan, sungguh mudah sekali dipatahkan.

Hebatnya, semua ilmuwan Muhammadiyah yang akademis dan katanya kritis-kritis itu bungkam dan tunduk semua kepada keputusan majlis tarjih. Tidak ada yang mengkritik, padahal kelamahan akademik pasti ada. Minal aidin al-faizin, mohon maaf lahir dan batin.


Oleh : Ahmad Musta'in Syafi'ie
Sumber: http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150268506916712


Catatan:
Penulis adalah Direktur Madrasatul Qur’an Tebuireng KH. Musta’in Syafi’i, M.Ag.

Senin, 29 Agustus 2011

Muhammadiyah Terbelenggu Wujudul Hilal: Metode Lama yang Mematikan Tajdid Hisab

Oleh: Thomas Djamaluddin
Profesor Riset Astronomi -Astrofisika, LAPAN
Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementeria Agama RI

Perbedaan Idul Fitri dan Idul Adha sering terjadi di Indonesia. Penyebab utama BUKAN perbedaan metode hisab (perhitungan ) dan rukyat (pengamatan) , tetapi pada perbedaan kriterianya. Kalau mau lebih spesifik merujuk akar masalah, sumber masalah utama adalah Muhammadiyah yang masih kukuh menggunakan hisab wujudul hilal. Bila posisi bulan sudah positif di atas ufuk, tetapi ketinggiannya masih sekitar batas kriteria visibilitas hilal (imkan rukyat, batas kemungkinan untuk diamati) atau lebih rendah lagi, dapat dipastikan terjadi perbedaan.  Perbedaan terakhir kita alami pada Idul Fitri 1327 H/2006 M dan 1428 H/2007 H serta Idul Adha 1431/2010 . Idul Fitri 1432/ 2011 tahun ini juga hampir dipastikan terjadi perbedaan. Kalau kriteria Muhammadiyah tidak diubah, dapat dipastikan awal Ramadhan 1433/2012 , 1434/ 2013, dan 1435/2014 juga akan beda. Masyarakat dibuat bingung, tetapi hanya disodori solusi sementara, “mari kita saling menghormati” . Adakah solusi permanennya? Ada, Muhammadiyah bersama ormas-ormas Islam harus bersepakati untuk mengubah kriterianya.


Mengapa perbedaan itu pasti terjadi ketika bulan pada posisi yang sangat rendah, tetapi sudah positif di atas ufuk? Kita ambil kasus penentuan Idul Fitri 1432/ 2011. Pada saat maghrib 29 Ramadhan 1432/29 Agustus 2011 tinggi bulan di seluruh Indonesia hanya sekitar 2 derajat atau kurang, tetapi sudah positif. Perlu diketahui, kemampuan hisab sudah dimiliki semua ormas Islam secara merata, termasuk NU dan Persis, sehingga data hisab seperti itu sudah diketahui umum. Dengan perangkat astronomi yang mudah didapat, siapa pun kini bisa menghisabnya. Dengan posisi bulan seperti itu, Muhammadiyah sejak awal sudah mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 30 Agustus 2011 karena bulan (“hilal”) sudah wujud di atas ufuk saat maghrib 29 Agustus 2011. Tetapi Ormas lain yang mengamalkan hisab juga, yaitu Persis (Persatuan Islam), mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 31 Agustus 2011 karena mendasarkan pada kriteria imkan rukyat (kemungkinan untuk rukyat) yang pada saat maghrib 29 Agustus 2011 bulan masih terlalu rendah untuk bisa memunculkan hilal yang teramati. NU yang mendasarkan pada rukyat masih menunggu hasil rukyat. Tetapi, dalam beberapa kejadian sebelumnya seperti 1427/ 2006 dan 1428/2007 , laporan kesaksian hilal pada saat bulan sangat rendah sering kali ditolak karena tidak mungkin ada rukyat dan seringkali pengamat ternyata keliru menunjukkan arah hilal . Jadi, selama Muhammadiyah masih bersikukuh dengan kriteria wujudul hilalnya, kita selalu dihantui adanya perbedaan hari raya dan awal Ramadhan. Seperti apa sesungguhnya hisab wujudul hilal itu? Banyak kalangan di intern Muhammadiyah mengagungkannya, seolah itu sebagai simbol keunggulan hisab mereka yang mereka yakini, terutama ketika dibandingkan dengan metode rukyat. Tentu saja mereka anggota fanatik Muhammadiyah, tetapi sesungguhnya tidak faham ilmu hisab, seolah hisab itu hanya dengan kriteria wujudul hilal. Oktober 2003 lalu saya diundang Muhammadiyah sebagai narasumber pada Munas Tarjih ke- 26 di Padang. Saya diminta memaparkan “Kritik terhadap Teori Wujudul Hilal dan Mathla’ Wilayatul Hukmi”. Saya katakan wujudul hilal hanya ada dalam teori, tidak mungkin bisa teramati. Pada kesempatan lain saya sering mangatakan teori/kriteria wujudul hilal tidak punya landasan kuat dari segi syar’i dan astronomisnya. Dari segi syar’ i, tafsir yang merujuk pada QS Yasin 39-40 terkesan dipaksakan (rincinya silakan baca blog saya http:/ /tdjamaluddin. wordpress.com /2011/ 07/28/ hisab- dan-rukyat -setara -astronomi- menguak-isyarat-lengkap- dalam-al -quran-tentang -penentuan- awal-ramadhan- syawal-dan -dzulhijjah/ ). Dari segi astronomi, kriteria wujudul hilal adalah kriteria usang yang sudah lama ditinggalkan di kalangan ahli falak.

Kita ketahui, metode penentuan kalender yang paling kuno adalah hisab urfi (hanya berdasarkan periodik, 30 dan 29 hari berubalang-ulang, yang kini digunakan oleh beberapakelompok kecil di Sumatera Barat dan Jawa Timur, yang hasilnya berbeda dengan metode hisab atau rukyat modern) . Lalu berkembang hisab imkan rukyat (visibilitas hilal, menghitung kemungkinan hilal teramati), tetapi masih menggunakan hisab taqribi (pendekatan ) yang akurasinya masih rendah. Muhammadiyah pun sempat menggunakannya pada awal sejarahnya.  Kemudian untuk menghindari kerumitan imkan rukyat, digunakan hisab ijtimak qablal ghurub (konjungsi sebelum matahari terbenam) dan hisab wujudul hilal (hilal wujud di atas ufuk yang ditandai bulan terbenam lebih lambat daripada matahari). Kini kriteria ijtimak qablal ghurub dan wujudul hilal mulai ditinggalkan, kecuali oleh beberapa kelompok atau negara yang masih kurang keterlibatan ahli hisabnya, seperti oleh Arab Saudi untuk kalender Ummul Quro-nya . Kini para pembuat kalender cenderung menggunakan kriteria imkan rukyat karena bisa dibandingkan dengan hasil rukyat. Perhitungan imkan rukyat kini sangat mudah dilakukan, terbantu dengan perkembangan perangkat lunak astronomi. Informasi imkanrur rukyat atau visibilitas hilal juga sangat mudah diakses secara online di internet.

Muhammdiyah yang tampaknya terlalu ketat menjauhi rukyat terjebak pada kejumudan (kebekuan pemikiran) dalam ilmu falak atau astronomi terkait penentuan sistem kelendernya. Mereka cukup puas dengan wujudul hilal , kriteria lama yang secara astronomi dapat dianggap usang. Mereka mematikan tajdid (pembaharuan ) yang sebenarnya menjadi nama lembaga think tank mereka, Majelis Tarjih dan Tajdid. Sayang sekali. Sementara ormas Islam lain terus berubah. NU yang pada awalnya cenderung melarang rukyat dengan alat, termasuk kacamata, kini sudah melengkapi diri dengan perangkat lunak astronomi dan teleskop canggih. Mungkin jumlah ahli hisab di NU jauh lebih banyak daripada di Muhammadiyah, walau mereka pengamal rukyat. Sementara Persis (Persatuan Islam), ormas “kecil” yang sangat aktif dengan Dewan Hisab Rukyat-nya berani beberapa kali mengubah kriteria hisabnya. Padahal, Persis kadang mengidentikan sebagai “saudara kembar” Muhammadiyah karena memang mengandalkan hisab, tanpa menunggu hasil rukyat. Persis beberapa kali mengubah kriterianya, dari ijtimak qablal ghrub , imkan rukyat 2 derajat, wujudul hilal di seluruh wilayah Indonesia, sampai imkan rukyat astronomis yang diterapkan.

Demi penyatuan ummat melalui kalender hijriyah, memang saya sering mengkritisi praktek hisab rukyat di NU , Muhammadiyah, dan Persis. NU dan Persis sangat terbuka terhadap perubahan. Muhammadiyah cenderung resisten dan defensif dalam hal metode hisabnya. Pendapatnya tampak merata dikalangan anggota Muhammadiyah, seolah hisab itu hanya dengan kriteria wujudul hilal. Itu sudah menjadi keyakinan mereka yang katanya sulit diubah. Gerakan tajdid (pembaharuan ) dalam ilmu hisab dimatikannya sendiri. Ketika diajak membahas kriteria imkan rukyat, tampak apriori seolah itu bagian dari rukyat yang terkesan dihindari.

Lalu mau kemana Muhammadiyah? Kita berharap Muhammadiyah, sebagai ormas besar yang modern, mau berubah demi penyatuan Ummat. Tetapi juga sama pentingnya adalah demi kemajuan Muhammadiyah sendiri, jangan sampai muncul kesan di komunitas astronomi “Organisasi Islam modern, tetapi kriteria kelendernya usang” . Semoga Muhammadiyah mau berubah!

Minggu, 14 Agustus 2011

Sudah Berapa Juz Alqur`an yang dibaca...???

Pahala mengamalkan satu sunnah pada bulan Ramadhan sama dengan pahala beramal wajib di luar Ramadhan. Dan pahala menunaikan satu amalan wajib pada bulan Ramadhan sama dengan pahala menunaikan tujuh puluh amalan wajib di luar bulan Ramadhan. Berkenaan dengan hal ini, kita hendaknya memikirkan keadaan ibadah kita. Dalam bulan keberkahan ini hendaknya kita berpikir, sejauh manakah perhatian kita dalam menyempurnakan kewajiban dan menambah amalan suhnah. Perhatian kita terhadap amalan fardhu pada saat ini adalah demikian : Kebanyakan di antara kita meneruskan tidur setelah sahur, sehIngga mengqadha’ shalat Shubuh, setidak-tidaknya tertinggal shalat berjamaah. Seolah-olah inilah syukur kita, ibadah wajib yang sangat perlu diperhatikan malah kita qadha’ atau paling tidak kita menguranginya.

Padahal, para ahi ushul berpendapat bahwa shalat tanpa berjamaah adalah suatu kekurangan, bahkan Nabi saw. bersabda bahwa seolah-olah tidak sah shalat mereka yang tinggal di sekitar masjid, kecuali di masjid. Tertulis di dalam Mazhahiril-Haq bahwa barangsiapa shalat tanpa berjamaah tanpa udzur, maka kewajiban shalatnya sudah terpenuhi, namun pahala shalatnya tidak ia dapatkan. Demikian juga dengan shalat Maghrib. Biasanya, ketika itu orang sedang sibuk berbuka puasa, sehingga tidak perlu dibicarakan lagi tentang orang-orang yang tertinggal rakaat pertama atau takbir pertama. Mengenai shalat Isya, karena beranggapan untuk mengganti kebaikan-kebaikan pada shalat Tarawih, banyak yang shalat Isya sebelum waktunya.

Demikianlah amalan kita pada bulan Ramadhan. Karena ingin menunaikan satu amalan wajib, tiga amalan wajib lainnya dilalaikan. Inilah yang paling sering terjadi. Sedangkan shalat Zhuhur, karena tidur sebelum Zhuhur (qailulah), kita tertinggal shalat berjamaah Zhuhur. Begitu juga dengan shalat Ashar. Karena sibuk mempersiapkan makanan ifthar, maka tertinggallah shalat berjamaah Ashar.

Itulah yang semestinya kita pikirkan, sejauh manakah kita menunaikan kewajiban-kewajiban pada buan Ramadhan yang penuh berkah ini. Jika yang wajib saja begitu sulit untuk diamalkan, bagaimana dapat mengamalkan yang sunnah? Shalat Isyraq dan Dhuha pada bulan Ramadhan sering kita tinggalkan karena tidur. Apalagi shalat Awwabin, karena sibuk berbuka dan khawatir dengan shalat Tarawih yang panjang, akhirnya shalat Awwabin ditinggalkan, dan waktu shalat Tahajjud kita juga habis karena digunakan untuk sahur. Apabila demikian, kapankah ada kesempatan untuk melakukan shalat sunnah. Semua ini terjadi karena orang-orang tidak memperhatikan atau tidak ingin mengamalkannya.

Sebuah syair berbunyi:
Jika tidak ada kemauan, beribu-ribu alasan dapat engkau kemukakan.

Namun demikian, betapa banyak hamba Allah yang sempat memanfaatkan kesempatan yang sangat bernilai ini. Saya melihat sendiri guru saya, Syaikh Khalil Ahmad (nawwarallahu marqadahu) dalam beberapa bulan Ramadhan, dalam keadaan lemah dan lanjut usia, ia biasa membaca dan memperdengarkan satu seperempat juz Al-Qur’an dalam shalat nafil setelah Maghrib. Kemudian selama setengah jam ia makan dan menunaikan beberapa keperluan. Biasanya ia shalat Tarawih dan Isya kurang Iebih dua atau dua seperempat jam ketika di India, dan tiga jam ketika tinggal di Madinah. Lalu ia tidur selama dua atau tiga jam, sesuai dengan musimnya. Setelah itu ia membaca Al-Qur’an di dalam Tahajjud. Setengah jam sebelum shalat Shubuh, ia akan makan sahur, kemudian sibuk membaca hafalan Al-Qur’an atau wirid hingga Shubuh. Setelah shalat Shubuh dilanjutkan dengan muraqabah sampai Isyraq. Setelah itu, ia beristirahat lebih kurang satu jam, lalu sibuk menulis Badzlul-Majhud dalam bahasa Arab (sebuah kitab syarah hadits Abu Dawud) sampai tengah hari. Setelah itu ia membaca surat-surat dan mendiktekan balasannya (jika musim panas) hingga pukul 13.00. Kemudian Ia beristirahat kembali hingga tiba shalat Zhuhur dan membaca Al-Qur’an dan Zhuhur sampai Ashar. Dan dari Ashar sampai Maghrib, ia sibuk bertasbih dan berbincang-bincang dengan tamu-tamunya.

Ketika penulisan Badzlul-Majhud selesai, ia mengisi waktunya dengan menelaah kitab-kitab agama dan membaca Al-Qur’an. Ketika itu ia sangat berkonsentrasi terhadap Badzlul-Majhud dan Wafaul- Wafa. Demikianlah kegiatan tetap kesehariannya pada bulan Ramadhan tanpa ada perubahan. Dan shalat-shalat sunnah tersebut adalah amal harian yang biasa ia kerjakan, namun pada bulan Ramadhan rakaatnya lebih diperpanjang.

Para masyaikh lainnya juga sangat memperhatikan bulan Ramadhan, bahkan lebih hebat lagi, sehingga kita sulit meneladaninya. Syaikhul-Hindi (Syaikh Mahmudul-Hasan rah.a.) biasa mengenjakan shalat nafil setelah shalat Tarawih hingga fajar dan mendengarkan bacaan Al-Qur’an beberapa orang hafidz secara bergantian. Syaikh Abdurrahim Raipuri sibuk membaca Al-Qur’an siang dan malam selama bulan Ramadhan, sehingga ia tidak sempat melakukan surat menyurat atau menerima tamu. Para khadim dekatnya saja yang diizinkan sejenak menemuinya, yaitu setelah shalat Tarawih pada waktu minum satu dua cangkir teh.

Maksud saya menceritakan amalan para masyaikh dalam menghabiskan bulan Ramadhan ini bukan sekadar untuk bahan bacaan atau menyebarkan pemikiran, tetapi bertujuan untuk mendorong kita agar mengikuti mereka sesuai kemampuan yang ada. Betapa beruntung orang yang tidak bergantung pada kesibukan dunia dan berusaha memperbaiki kehidupannya dalam bulan ini, setelah melewati sebelas bulan lainnya dengan sia-sia.

Bagi orang yang biasa bekerja dan jam 08.00 hingga 16.00, tentu tidak memberatkan jika pada bulan Ramadhan dari Shubuh sampai jam kerja waktunya digunakan untuk membaca Al-Qur’an. Meskipun sibuk dengan urusan dunia, kita tetap memiliki waktu untuk membaca Al-Qur’an, bahkan pada jam kerja sekalipun. Bagi yang sibuk di pertanian yang tidak bekerja atas perintah orang lain, jelas tidak ada penghalang untuk membaca membaca Al Qur’an ketika bekerja di sawah. Ia bebas menggunakan waktu kerjanya. Sambil duduk-duduk, ia dapat membaca Al-Qur’an. Demikian pula dengan pedagang; pada bulan Ramadhan, setidaknya mereka dapat mempersingkat jam kerjanya atau paling tidak menunggu dagangannya sambil membaca Al-Qur’an. Bagaimanapun, ada hubungan yang erat antara Ramadhan dengan Al-Quran.

Oleh sebab itu, hampir semua Kitabullah diturunkan pada bulan ini. Begitu pula Al-Qur’an telah diturunkan dari Lauhul-Mahfuzh ke langit dunia pada bulan Ramadhan. Lalu diturunkan berangsur-angsur menurut kejadiannya dalam masa kurang lebih 23 tahun. Selain itu, Ibrahim a.s. telah menerima shuhufnya (kitab suci) pada tanggal 1 atau 3 Ramadhan. Dawud a.s. menerima Zabur pada tanggal 18 atau 12 Ramadhan. Musa as. menerima Taurat pada hari ke-6, Isa a.s. menerima Injil pada hari ke-13. Dari sini dapat diketahui adanya hubungan yang erat antara kitab Allah dengan Ramadhan. Oleh karena itu, hendaknya kita membaca Al-Qur’an sebanyak mungkin pada bulan ini. Demikianlah kebiasaa waliyullah. Jibril a.s. pun membacakan seluruh Al-Qur’an kepada Muhammad saw. pada bulan Ramadhan. Riwayat lain menyatakan Nabi saw. yang membaca dan Jibril a.s. mendengarkannya.

Dengan menggabungkan riwayat-riwayat tersebut, para ulama menyatakan bahwa mustahab (sangat dianjurkan) membaca Al dengan cara seperti itu (seorang membaca, yang lain mendengarkan secara bergantian). Bacalah Al-Qur’an kapan saja ada kesempatan, dan waktu yang lain jangan disia-siakan.

(Kitab "Fadhillah Amal" Fadhillah Ramadhan yang disusun oleh Maulana Muhammad Zakaria Al-Khandalawi RA)

Jumat, 29 Juli 2011

Andai ini Ramadhan terakhir

Andai kau tahu ini Ramadhan terakhir
tentu siangnya engkau sibuk berzikir
tentu engkau tak akan jemu melagukan syair rindu
mendayu..merayu. ..kepada- NYA Tuhan yang satu
andai kau tahu ini Ramadhan terakhir
tentu sholatmu kau kerjakan di awal waktu
sholat yang dikerjakan.. .sungguh khusyuk lagi tawadhu'
tubuh dan qalbu...bersatu memperhamba diri
menghadap Rabbul Jalil... menangisi kecurangan janji
"innasolati wanusuki wamahyaya wamamati lillahirabbil 'alamin"
[sesungguhnya solatku, ibadahku, hidupku, dan matiku...
kuserahkan hanya kepada Allah Tuhan seru sekalian alam]

andai kau tahu ini Ramadhan terakhir
tidak akan kau sia siakan walau sesaat yang berlalu
setiap masa tak akan dibiarkan begitu saja
di setiap kesempatan juga masa yang terluang
alunan Al-Quran bakal kau dendang...bakal kau syairkan

andai kau tahu ini Ramadhan terakhir
tentu malammu engkau sibukkan dengan
bertarawih.. .berqiamullail. ..bertahajjud. ..
mengadu...merintih. ..meminta belas kasih
"sesungguhnya aku tidak layak untuk ke syurga-MU
tapi...aku juga tidak sanggup untuk ke neraka-MU"

andai kau tahu ini Ramadhan terakhir
tentu dirimu tak akan melupakan mereka yang tersayang
mari kita meriahkan Ramadhan
kita buru...kita cari...suatu malam idaman
yang lebih baik dari seribu bulan

andai kau tahu ini Ramadhan terakhir
tentu engkau bakal menyediakan batin dan zahir
mempersiap diri...rohani dan jasmani
menanti-nanti jemputan Izrail
di kiri dan kanan ...lorong-lorong redha Ar-Rahman

Duhai Ilahi....
andai ini Ramadhan terakhir buat kami
jadikanlah ia Ramadhan paling berarti...paling berseri...
menerangi kegelapan hati kami
menyeru ke jalan menuju ridho serta kasih sayangMu Ya Ilahi
semoga bakal mewarnai kehidupan kami di sana nanti

Namun teman...
tak akan ada manusia yang bakal mengetahui
apakah Ramadhan ini merupakan yang terakhir kali bagi dirinya
yang mampu bagi seorang hamba itu hanyalah
berusaha...bersedia ...meminta belas-NYA


wahai tuhan ku tak layak kesyurgamu ... namun tak pula aku sanggup ke Nerakamu ...
kami lah hamba yang mengharap belas darimu
"ya allah jadikan lah kami hamba2 mu yang bertaqwa..
ampunkan dosa2 kami kedua ibubapa kami, dosa semua umat2 islam yang masih hidup mahupun yang telah meninggal dunia" Amin.....

"Andai benar ini Ramadhan terakhir buat saya
MAAFKAN SEMUA KESALAHAN YANG PERNAH SAYA LAKUKAN"




Sumber : http://mmczone.multiply.com/

Jumat, 08 Juli 2011

Seri Kontra Wahabi (1): Ngalap Barokah

Dialog Publik di Masjidil Haram

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin–ulama Wahhabi kontemporer di Saudi Arabia yang sangat populer dan kharismatik-, mempunyai seorang guru yang sangat alim dan kharismatik di kalangan kaum Wahhabi, yaitu Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Sa’di. Ia dikenal dengan julukan Syaikh Ibnu Sa’di. Ia memiliki banyak karangan, di antaranya yang paling populer adalah karyanya yang berjudul, Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, kitab tafsir setebal 5 jilid, yang mengikuti paradigma pemikiran Wahhabi. Tafsir ini di kalangan Wahhabi menyamai kedudukan Tafsir al-Jalalain di kalangan kaum Sunni.

Syaikh Ibnu Sa’di dikenal sebagai ulama Wahhabi yang ekstrem. Namun demikian, terkadang ia mudah insyaf dan mau mengikuti kebenaran, dari manapun kebenaran itu datangnya.  Suatu ketika, al-Imam al-Sayyid ‘Alwi bin Abbas al-Maliki al-Hasani (ayahanda al-Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki) sedang duduk-duduk di serambi Masjidil Haram bersama murid-muridnya dalam halaqah pengajiannya. Di bagian lain serambi Masjidil Haram tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di juga duduk-duduk bersama anak buahnya. Sementara orang-orang di Masjidil Haram sedang larut dalam ibadah. Ada yang shalat dan ada pula yang thawaf. Pada saat itu, langit di atas Masjidil Haram diselimuti mendung tebal yang menggelantung. Sepertinya sebentar lagi hujan lebat akan segera mengguyur tanah suci umat Islam itu.

Tiba-tiba air hujan itu pun turun dengan lebatnya. Akibatnya, saluran air di atas Ka’bah mengalirkan air hujan itu dengan derasnya. Melihat air begitu deras dari saluran air di atas kiblat kaum Muslimin yang berbentuk kubus itu, orang-orang Hijaz seperti kebiasaan mereka, segera berhamburan menuju saluran itu dan mengambil air tersebut. Air itu mereka tuangkan ke baju dan tubuh mereka, dengan harapan mendapatkan berkah dari air itu.

Melihat kejadian tersebut, para polisi pamong praja Kerajaan Saudi Arabia, yang sebagian besar berasal dari orang Baduwi daerah Najd itu, menjadi terkejut dan mengira bahwa orang-orang Hijaz tersebut telah terjerumus dalam lumpur kesyirikan dan menyembah selain Allah subhanahu wa ta’ala dengan ngalap barokah dari air itu. Akhirnya para polisi pamong praja itu menghampiri kerumunan orang-orang Hijaz dan berkata kepada mereka yang sedang mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran air Ka’bah itu, “Hai orang-orang musyrik, jangan lakukan itu. Itu perbuatan syirik. Itu perbuatan syirik. Hentikan!” Demikian teguran keras para polisi pamong praja kerajaan Wahhabi itu.

Mendengar teguran para polisi pamong praja itu, orang-orang Hijaz itu pun segera membubarkan diri dan pergi menuju Sayyid ‘Alwi yang sedang mengajar murid-muridnya di halaqah tempat beliau mengajar secara rutin. Kepada beliau, mereka menanyakan perihal hukum mengambil berkah dari air hujan yang mengalir dari saluran air di Ka’bah itu. Ternyata Sayyid ‘Alwi membolehkan dan bahkan mendorong mereka untuk terus melakukannya.

Menerima fatwa Sayyid ‘Alwi yang melegitimasi perbuatan mereka, akhirnya untuk yang kedua kalinya, orang-orang Hijaz itu pun berhamburan lagi menuju saluran air di Ka’bah itu, dengan tujuan mengambil berkah air hujan yang jatuh darinya, tanpa mengindahkan teguran para polisi Baduwi tersebut. Bahkan ketika para polisi Baduwi itu menegur mereka untuk yang kedua kalinya, orang-orang Hijaz itu menjawab, “Kami tidak peduli teguran Anda, setelah Sayyid ‘Alwi berfatwa kepada kami tentang kebolehan mengambil berkah dari air ini.”

Akhirnya, melihat orang-orang Hijaz itu tidak mengindahkan teguran, para polisi Baduwi itu pun segera mendatangi halaqah Syaikh Ibnu Sa’di, guru mereka. Mereka mengadukan perihal fatwa Sayyid ‘Alwi yang menganggap bahwa air hujan itu ada berkahnya. Akhirnya, setelah mendengar laporan para polisi Baduwi, yang merupakan anak buahnya itu, Syaikh Ibnu Sa’di segera mengambil selendangnya dan bangkit berjalan menghampiri halaqah Sayyid ‘Alwi. Kemudian dengan perlahan Syaikh Ibn Sa’di itu duduk di sebelah Sayyid ‘Alwi. Sementara orang-orang dari berbagai golongan, berkumpul mengelilingi kedua ulama besar itu. Mereka menunggu-nunggu, apa yang akan dibicarakan oleh dua ulama besar itu.

Dengan penuh sopan santun dan etika layaknya seorang ulama besar, Syaikh Ibnu Sa’di bertanya kepada  Sayyid ‘Alwi: “Wahai Sayyid, benarkah Anda berkata kepada orang-orang itu bahwa air hujan yang turun dari saluran air di Ka’bah itu ada berkahnya?”.  Mendengar pertanyaan Syaikh Ibn Sa’di, Sayyid ‘Alwi menjawab: “Benar. Bahkan air tersebut memiliki dua berkah.”

Mendengar jawaban tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di terkejut dan berkata: “Bagaimana hal itu bisa terjadi?”

Sayyid ‘Alwi menjawab: “Karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Kitab-Nya tentang air hujan:

وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَاركَاً. (ق : ٩).

“Dan Kami turunkan dari langit air yang mengandung berkah.” (QS. 50 : 9).

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman mengenai Ka’bah:

إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِيْ بِبَكَّةَ مُبَارَكًا. (آل عمران : ٩٦).

“Sesungguhnya rumah yang pertama kali diletakkan bagi umat manusia adalah rumah yang ada di Bekkah (Makkah), yang diberkahi (oleh Allah).” (QS. 3 : 96).

Dengan demikian air hujan yang turun dari saluran air di atas Ka’bah itu memiliki dua berkah, yaitu berkah yang turun dari langit dan berkah yang terdapat pada Baitullah ini.”  Mendengar jawaban tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di merasa heran dan kagum kepada Sayyid ‘Alwi. Kemudian dengan penuh kesadaran, mulut Syaikh Ibnu Sa’di itu melontarkan perkataan yang sangat mulia, sebagai pengakuannya akan kebenaran ucapan Sayyid ‘Alwi: “Subhanallah (Maha Suci Allah), bagaimana kami bisa lalai dari kedua ayat ini.”

Kemudian Syaikh Ibnu Sa’di mengucapkan terima kasih kepada Sayyid ‘Alwi dan meminta izin untuk meninggalkan halaqah tersebut. Namun Sayyid ‘Alwi berkata kepada Syaikh Ibnu Sa’di: “Tenang dulu wahai Syaikh Ibnu Sa’di. Aku melihat para polisi baduwi itu mengira bahwa apa yang dilakukan oleh kaum Muslimin dengan mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran air di Ka’bah itu sebagai perbuatan syirik. Mereka tidak akan berhenti mengkafirkan dan mensyirikkan orang dalam masalah ini sebelum mereka melihat orang seperti Anda melarang mereka. Oleh karena itu, sekarang bangkitlah Anda menuju saluran air di Ka’bah itu. Lalu ambillah air di situ di depan para polisi Baduwi itu, sehingga mereka akan berhenti mensyirikkan orang lain.”

Akhirnya mendengar saran Sayyid ‘Alwi, Syaikh Ibnu Sa’di segera bangkit menuju saluran air di Ka’bah. Ia basahi pakaiannya dengan air itu, dan ia pun mengambil air itu untuk diminumnya dengan tujuan mengambil berkahnya. Melihat tindakan Syaikh Ibnu Sa’di ini, para polisi Baduwi itu pun akhirnya pergi meninggalkan Masjidil Haram dengan perasaan malu.  Kisah ini disebutkan oleh Syaikh Abdul Fattah Rawwah, dalam kitab Tsabat (kumpulan sanad-sanad keilmuannya). Beliau murid Sayyid ‘Alwi al-Maliki dan termasuk salah seorang saksi mata kejadian itu.

Syaikh Ibn Sa’di sebenarnya seorang yang sangat alim. Ia pakar dalam bidang tafsir. Apabila berbicara tafsir, ia mampu menguraikan makna dan maksud ayat al-Qur’an dari berbagai aspeknya di luar kepala dengan bahasa yang sangat bagus dan mudah dimengerti. Akan tetapi sayang, ideologi Wahhabi yang diikutinya berpengaruh terhadap paradigma pemikiran beliau. Aroma Wahhabi sangat kental dengan tafsir yang ditulisnya.

Ngalap Berkah

Berkah (barokah) diartikan dengan tambahnya kebaikan (ziyadah al-khair). Sedangkan tabarruk bermakna mencari tambahnya kebaikan atau ngalap barokah (thalab ziyadah al-khair). Demikian para ulama menjelaskan.  Masyarakat kita seringkali mendatangi orang-orang saleh dan para ulama sepuh dengan tujuan tabarruk. Para ulama dan orang saleh memang ada barokahnya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: اَلْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ “. رواه ابن حبان (١٩١٢) وأبو نعيم في “الحلية” (٨/١٧٢) و الحاكم في “المستدرك” (١/٦٢) و الضياء في “المختارة” (٦٤/٣٥/٢) و قال الحاكم : “صحيح على شرط البخاري” . و وافقه الذهبي.

“Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Berkah Allah bersama orang-orang besar di antara kamu.” (HR. Ibn Hibban (1912), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (8/172), al-Hakim dalam al-Mustadrak (1/62) dan al-Dhiya’ dalam al-Mukhtarah (64/35/2). Al-Hakim berkata, hadits ini shahih sesuai kriteria al-Bukhari, dan al-Dzahabi menyetujuinya.)

Al-Imam al-Munawi menjelaskan dalam Faidh al-Qadir, bahwa hadits tersebut mendorong kita mencari berkah Allah subhanahu wa ta’ala dari orang-orang besar dengan memuliakan dan mengagungkan mereka. Orang besar di sini bisa dalam artian besar ilmunya seperti para ulama, atau kesalehannya seperti orang-orang saleh. Bisa pula, besar dalam segi usia, seperti orang-orang yang lebih tua.

Dalam sebuah diskusi di Masjid At-Taqwa, Denpasar Bali, ada peserta yang bertanya, “Bagaimana Islam menanggapi orang-orang yang melakukan ziarah ke makam para wali dengan tujuan mencari berkah?”

Di antara amal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah ziarah makam para nabi atau para wali. Baik ziarah tersebut dilakukan dengan tujuan mengucapkan salam kepada mereka atau karena tujuan tabarruk (ngalap barokah) dengan berziarah ke makam mereka. Maksud tabarruk di sini adalah mencari barokah dari Allah subhanahu wa ta’ala dengan cara berziarah ke makam para wali.

Orang yang berziarah ke makam para wali dengan tujuan tabarruk, maka ziarah tersebut dapat mendekatkannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak menjauhkannya dari Allah subhanahu wa ta’ala. Orang yang berpendapat bahwa ziarah wali dengan tujuan tabarruk itu syirik, jelas keliru. Ia tidak punya dalil, baik dari al-Qur’an maupun dari hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Al-Hafizh Waliyyuddin al-’Iraqi berkata ketika menguraikan maksud hadits:

أَنَّ مُوْسَى u قَالَ: رَبِّ أَدْنِنِيْ مِنَ اْلأَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ رَمْيَةً بِحَجَرٍ وَأَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «وَاللهِ لَوْ أَنِّيْ عِنْدَهُ لأَرَيْتُكُمْ قَبْرَهُ إِلَى جَنْبِ الطَّرِيْقِ عِنْدَ الْكَثِيْبِ الْأَحْمَرِ».

“Sesungguhnya Nabi Musa u berkata, “Ya Allah, dekatkanlah aku kepada tanah suci sejauh satu lemparan dengan batu.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Demi Allah, seandainya aku ada disampingnya, tentu aku beritahu kalian letak makam Musa, yaitu di tepi jalan di sebelah bukit pasir merah.”

Ketika menjelaskan maksud hadits tersebut, al-Hafizh al-’Iraqi berkata:

وَفِيْهِ اسْتِحْبَابُ مَعْرِفَةِ قُبُوْرِ الصَّالِحِيْنَ لِزِيَارَتِهَا وَالْقِيَامِ بِحَقِّهَا، وَقَدْ ذَكَرَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم لِقَبْرِ السَّيِّدِ مُوْسَى u عَلاَمَةً هِيَ مَوْجُوْدَةٌ فِيْ قَبْرٍ مَشْهُوْرٍ عِنْدَ النَّاسِ اْلآَنَ بِأَنَّهُ قَبْرُهُ، وَالظَّاهِرُ أَنَّ الْمَوْضِعَ الْمَذْكُوْرَ هُوَ الَّذِيْ أَشَارَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلاَمُ.

“Hadits tersebut menjelaskan anjuran mengetahui makam orang-orang saleh untuk dizarahi dan dipenuhi haknya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah menyebutkan tanda-tanda makam Nabi Musa u yaitu pada makam yang sekarang dikenal masyarakat sebagai makam beliau. Yang jelas, tempat tersebut adalah makam yang ditunjukkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam.” (Tharh al-Tatsrib, [3/303]).

Pada dasarnya ziarah kubur itu sunnat dan ada pahalanya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : « كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا » رَوَاهُ مُسْلِمٌ (٧/٤٦). وَفِيْ رِوَايَةٍ « فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَزُوْرَ الْقُبُوْرَ فَلْيَزُرْ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُنَا اْلآَخِرَةَ».

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Dulu aku melarang kamu ziarah kubur. Sekarang ziarahlah.” (HR. Muslim). Dalam satu riwayat, “Barangsiapa yang henda ziarah kubur maka ziarahlah, karena hal tersebut dapat mengingatkan kita pada akhirat.” (Riyadh al-Shalihin [bab 66]).

Di sini mungkin ada yang bertanya, adakah dalil yang menunjukkan bolehnya ziarah kubur dengan tujuan tabarruk dan tawassul? Sebagaimana dimaklumi, tabarruk itu punya makna keinginan mendapat berkah dari Allah subhanahu wa ta’ala dengan berziarah ke makam nabi atau wali. Kemudian para nabi itu meskipun telah pindah ke alam baka, namun pada hakekatnya mereka masih hidup. Dengan demikian, tidak mustahil apabila mereka merasakan datangnya orang yang ziarah, maka mereka akan mendoakan peziarah itu kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: «اَلاَنْبِيَاءُ أَحْيَاءٌ فِيْ قُبُوْرِهِمْ يُصَلُّوْنَ» رواه البيهقي.
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Para nabi itu hidup di alam kubur mereka seraya menunaikan shalat.” (HR. al-Baihaqi dalam Hayat al-Anbiya’, [1]).

Sebagai penegasan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang telah wafat, dapat mendoakan orang yang masih hidup, adalah hadits berikut ini:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «حَيَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ تُحْدِثُوْنَ وَيُحْدَثُ لَكُمْ وَمَمَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ فَإِذَا أَنَا مِتُّ عُرِضَتْ عَلَيَّ أَعْمَالُكُمْ فَإِنْ رَأَيْتُ خَيْرًا حَمِدْتُ اللهَ وَإِنْ رَأَيْتُ غَيْرَ ذَلِكَ اِسْتَغْفَرْتُ لَكُمْ » رَوَاهُ الْبَزَّارُ.

“Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Hidupku lebih baik bagi kalian. Kalian berbuat sesuatu, aku dapat menjelaskan hukumnya. Wafatku juga lebih baik bagi kalian. Apabila aku wafat, maka amal perbuatan kalian ditampakkan kepadaku. Apabila aku melihat amal baik kalian, aku akan memuji kepada Allah. Dan apabila aku melihat sebaliknya, maka aku memintakan ampun kalian kepada Allah.” (HR. al-Bazzar, [1925]).

Karena keyakinan bahwa para nabi itu masih hidup di alam kubur mereka, kaum salaf sejak generasi sahabat melakukan tabarruk dengan Nabi shallallahu alaihi wa sallam setelah beliau wafat. Hakekat bahwa para nabi dan orang saleh itu masih hidup di alam kubur, sehingga para peziarah dapat bertabarruk dan bertawassul dengan mereka, telah disebutkan oleh Syaikh Ibn Taimiyah berikut ini:

وَلاَ يَدْخُلُ فِيْ هَذَا الْبَابِ (أَيْ مِنَ الْمُنْكَرَاتِ عِنْدَ السَّلَفِ) مَا يُرْوَى مِنْ أَنَّ قَوْمًا سَمِعُوْا رَدَّ السَّلاَمِ مِنْ قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَوْ قُبُوْرِ غَيْرِهِ مِنَ الصَّالِحِيْنَ وَأَنَّ سَعِيْدَ بْنِ الْمُسَيَّبِ كَانَ يَسْمَعُاْلأَذَانَ مِنَ الْقَبْرِ لَيَالِيَ الْحَرَّةِ وَنَحْوُ ذَلِكَ فَهَذَا كُلُّهُ حَقٌّ لَيْسَ مِمَّا نَحْنُ فِيْهِ وَاْلأَمْرُأَجَلُّ مِنْ ذَلِكَ وَأَعْظَمُ وَكَذَلِكَ أَيْضًا مَا يُرْوَى أَنَّ رَجُلاً جَاءَ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَشَكَا إِلَيْهِ الْجَدَبَ عَامَ الرَّمَادَةِ فَرَآهُ وَهُوَ يَأْمُرُهُ أَنْ يَأْتِيَ عُمَرَ فَيَأْمُرَهُأَنْ يَخْرُجَ فَيَسْتَسْقِي النَّاسُ فَإِنَّ هَذَا لَيْسَ مِنْ هَذَا الْبَابِ وَمِثْلُ هَذَا يَقَعُ كَثِيْرًا لِمَنْهُوَ دُوْنَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَأَعْرِفُ مِنْ هَذِهِ الْوَقَائِعِ كَثِيْرًا. (الشيخ ابن تيمية، اقتضاء الصراط المستقيم ١/٣٧٣).

“Tidak masuk dalam bagian ini (kemungkaran menurut ulama salaf) adalah apa yang diriwayatkan bahwa sebagian kaum mendengar jawaban salam dari makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam atau makam orang-orang saleh, juga Sa’id bin al-Musayyab mendengar adzan dari makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada malam-malam peristiwa al-Harrah dan sesamanya. Ini semuanya benar, dan bukan yang kami persoalkan. Persoalannya lebih besar dan lebih serius dari hal tersebut. Demikian pula bukan termasuk kemungkaran, adalah apa yang diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang ke makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu mengadukan musim kemarau kepada beliau pada tahun ramadah (paceklik). Lalu orang tersebut bermimpi Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan menyuruhnya untuk mendatangi Umar bin al-Khaththab agar keluar melakukan istisqa’ dengan masyarakat. Ini bukan termasuk kemungkaran. Hal semacam ini banyak sekali terjadi dengan orang-orang yang kedudukannya di bawah Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan aku sendiri banyak mengetahui peristiwa-peristiwa seperti ini.” (Syaikh Ibn Taimiyah, Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim, juz. 1, hal. 373).

Kisah laki-laki yang datang ke makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam di atas, telah dijelaskan secara lengkap oleh al-Hafizh Ibn Katsir al-Dimasyqi, murid terkemuka Syaikh Ibn Taimiyah, dalam kitabnya al-Bidayah wa al-Nihayah. Beliau berkata:

وَقَالَ الْحَافِظُ اَبُوْ بَكْرٍ الْبَيْهَقِيُّ اَخْبَرَنَا اَبُوْ نَصْرٍ بْنُ قَتَادَةَ وَاَبُوْ بَكْرٍ الْفَارِسِيُّقَالَا حَدَّثَنَا اَبُوْ عُمَرِ بْنِ مَطَرٍ حَدَّثَنَا اِبْرَاهِيْمُ بْنُ عَلِيٍّ الذُّهْلِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُيَحْيَى حَدَّثَنَا اَبُوْ مُعَاوِيَةَ عَنِ اْلأَعْمَشِ عَنْ اَبِيْ صَالِحٍ عَنْ مَالِكٍ قَالَ اَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌفِيْ زَمَنِ عُمَرِ بْنِ الْخَطَّابِ فَجَاءَ رَجُلٌ اِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَيَارَسُوْلَ اللهِ اِسْتَسْقِ اللهَ لِاُمَّتِكَ فَاِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوْا فَأَتَاهُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي الْمَنَامِ فَقَالَ اِيْتِ عُمَرَ فَأَقْرِءْهُ مِنِّي السَّلاَمَ وَاَخْبِرْهُمْ اِنَّهُمْ مُسْقَوْنَ وَقُلْلَهُ عَلَيْكَ بِالْكَيْسِ الْكَيْسِ فَاَتَى الرَّجُلُ فَاَخْبَرَ عُمَرَ فَقَالَ يَارَبِّ مَا آَلُوْا اِلاَّ مَا عَجَزْتُعَنْهُ، وَهَذَا اِسْنَادٌ صَحِيْحٌ. (الحافظ ابن كثير، البداية والنهاية ٧/٩۲ وقال في جامع المسانيد ١/۲٣٣: اسناده جيد قوي، وروى هذا الحديث ابن ابي خيثمة. انظر: الاصابة ٣/٤٨٤، والخليلي في الارشاد ١/٣١٣ وابن عبد البر في الاستيعاب ۲/٤٦٤ وصححه الحافظ ابن حجر في “ فتح الباري “ ۲/٤٩٥.

“Al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi berkata, Abu Nashr bin Qatadah dan Abu Bakar al-Farisi mengabarkan kepada kami, Abu Umar bin Mathar mengabarkan kepada kami, Ibrahim bin Ali al-Dzuhli mengabarkan kepada kami, Yahya bin Yahya mengabarkan kepada kami, Abu Muawiyah mengabarkan kepada kami, dari al-A’masy, dari Abu Shalih, dari Malik al-Dar, bendahara pangan Khalifah Umar bin al-Khaththab, bahwa musim paceklik melanda kaum Muslimin pada masa Khalifah Umar. Maka seorang sahabat (yaitu Bilal bin al-Harits al-Muzani) mendatangi makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan mengatakan: “Hai Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah untuk umatmu karena sungguh mereka benar-benar telah binasa”. Kemudian orang ini bermimpi bertemu dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan beliau berkata kepadanya: “Sampaikan salamku kepada Umar dan beritahukan bahwa hujan akan turun untuk mereka, dan katakan kepadanya “bersungguh-sungguhlah melayani umat”. Kemudian sahabat tersebut datang kepada Umar dan memberitahukan apa yang dilakukannya dan mimpi yang dialaminya. Lalu Umar menangis dan mengatakan: “Ya Allah, saya akan kerahkan semua upayaku kecuali yang aku tidak mampu”. Sanad hadits ini shahih. (Al-Hafizh Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 7, hal. 92. Dalam Jami’ al-Masanid juz i, hal. 233, Ibn Katsir berkata, sanadnya jayyid (baik). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibn Abi Khaitsamah, lihat al-Ishabah juz 3, hal. 484, al-Khalili dalam al-Irsyad, juz 1, hal. 313, Ibn Abdil Barr dalam al-Isti’ab, juz 2, hal. 464 serta dishahihkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, juz 2, hal. 495).

Apabila hadits di atas kita cermati dengan seksama, maka akan kita pahami bahwa sahabat Bilal bin al-Harits al-Muzani radhiyallahu ‘anhu tersebut datang ke makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan tujuan tabarruk, bukan tujuan mengucapkan salam. Kemudian ketika laki-laki itu melaporkan kepada Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu, ternyata Umar radhiyallahu ‘anhu tidak menyalahkannya. Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu juga tidak berkata kepada laki-laki itu, “Perbuatanmu ini syirik”, atau berkata, “Mengapa kamu pergi ke makam Rasul shallallahu alaihi wa sallam untuk tujuan tabarruk, sedangkan beliau telah wafat dan tidak bisa bermanfaat bagimu”. Hal ini menjadi bukti bahwa bertabarruk dengan para nabi dan wali dengan berziarah ke makam mereka, itu telah dilakukan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat, tabi’in dan penerusnya.

==
Dari “Buku Pintar Berdebat dengan Wahhabi” karya Ust. Muhammad Idrus Ramli, alumni Pondok Pesantren Sidogiri tahun 1424/2004.

Rabu, 06 Juli 2011

Perbaiki Niat Kamu (Pesan Al Habib Abdullah bin Alawi Al Haddad)

Al Habib Abdullah bin Alawi Al Haddad berkata :

Bekerjalah kamu sebesar kemauan kerasmu dan niatmu karena sesungguhnya besarnya pahala itu diberikan sebesar kemauan keras dan niat, bukan dilihat dari besarnya amal. Kalau seandainya khazanah pemberian Allah itu cuman dipenuhi oleh amalan ibadah, dan jika diambil satu saja dari Malaikat yang amalannya selalu bersujud (kepada Allah) semenjak dunia ini tercipta sampai hari kiamat, bahkan Malaikat yang lain (berbuat seperti itu) dalam satu rekaat, sedangkan Allah memberikan karunia kepada mereka para Malaikat untuk selalu mengingat-Nya sebagaimana yang telah dimaklumi dari keadaan-keadaan para Malaikat tersebut, maka sebesar apakahamalmu (dibandingkan mereka)?. Oleh karenanya, be ar tidaknya suatu pahala hanya dapat diukur dengan seberapa besar niatnya itu.

Adakalanya suatu
amalan yang kecil dapat bernilai besar karena niatnya
Adakalanya suatu
amalan yang besar dapat bernilai kecil karena niatnya

Barangsiapa yang mengaku bahwa niatnya itu baik, maka seharusnya ia melihat kepada amalnya, karena setiap amalan pasti akan merujuk kepada niatnya. Jika amalnya baik, maka hal itu menunjukkan bahwa niatnya juga baik. Jika amalnya jelek, maka hal itu menunjukkan bahwa niatnya juga jelek.

Jika kamu berbuat suatu kebaikan, maka niatkanlah untuk bisa berbuat lagi seperti itu. Jikapun kamu tidak bisa berbuat lagi seperti itu, maka kamu sudah diganjar atas niatmu. Begitu juga jika kamu tidak bisa berbuat (suatu kebaikan), maka niatkanlah (untuk bisa berbuat}...

semoga bermanfaat amin

Minggu, 05 Juni 2011

Pesan Habib Ali Al Habsyi Shahib Maulid Simthud Durar

Perhatikanlah ibadah-ibadah sunnah, peliharalah ia dengan sempurna, dan berpegang teguhlah dengan sekuat kuatnya, terutama yang berupa ratib-ratib.  Berhati-hatilah, jangan sampai anda meninggalkan hal itu.

Hidupkanlah malam anda dengan bangun malam, hidupkanlah siang anda dengan berpuasa, dan perbanyaklah ibadah-ibadah sunnah dengan sebanyak banyaknya, karena ia merupakan jaringan kecintaan, berdasarkan sabda Nabi SAW dalam sebuah hadits qudsi, `Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepadaKu dengan ibadah-ibadah sunnah sehingga Aku mencintainya, (Di akhir hadits itu dikatakan, `Maka jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya dimana ia mendengar dengannya, menjadi penglihatannya dimana ia melihat dengannya-dan seterusnya hingga akhir hadits tersebut).

Maka hiruplah dari sumber yang jernih.  Jadilah anda termasuk orang yang berlomba-lomba dalam hal itu sehingga memperoleh kedudukan tersebut, dan teguklah air hujannya.  Berjuanglah dengan sungguh sungguh untuk menolak keinginan keinginan lain yang datang di dalamnya dan kotoran kotorannya yang mencegah masuknya anda dalam lembaran lembaran penerimaan, dan berjalanlah menuju Tuhanmu dengan perasaan hina dan kurang, tanpa melihat amal amal yang telah dilakukan, dan berlepas dirilah dari perbudakan kotoran kotoran dan keinginan keinginan lain itu dengan berkata melalui lisan dan hati anda “Bukan diriku, bukan pula perbuatanku” (Maksudnya, semuanya itu berkat anugerah Allah, bukan karena kemampuan diri sendiri)

Barang siapa masuk pada wilayah sebagaimana yang disebutkan dalam ayat “dan tidaklah ia melainkan seorang hamba yang Kami berikan nikmat kepadanya”, ia akan selamat dari keinginan keinginan itu, akan beristirahat dari dorongan dorongan tersebut, dan akan mengetahu bahwa, seandainya tidak ada limpahan kemurahan dari Allah, seseorang tidak akan mendapatkan tujuannya.  Amal amal yang dilakukan seseorang hanyalah untuk menunjukkan ubudiyyah (penghambaan), sedangkan pemberian pemberian dan anugerah itu semata mata merupakan pemberian dan kemurahan dari Allah SWT.

Wahai pecintaku, perhatikanlah kekurangan dalam  hal ihwal anda yang tertinggi, dan senantiasalah berbuat pengakuan.  Jadilah anda hamba bagi Allah, bukan bagi keuntungan keuntungan, dan perbanyaklah wirid wirid bacaan Al qur`an, wirid para salaf dan amalan hati.  Karena, anugerah yang datang dari Allah tergantung wirid yang dilakukan

Tidak melalaikan kematian (Pesan Imam Ali bin Abi Thalib)

Saya menasehatimu wahai manusia untuk bertakwa kepada Allah dan memujiNya sebanyak banyakNya karena nikmat nikmatNya kepadamu dan ganjaranNya bagimu serta hak-haknya atasmu.  Lihatlah betapa banyak Dia (Allah) telah memilihmu untuk nikmatNya dan memperlakukanmu dengan belas kasihan.  Kamu berbuat dosa secara terbuka, Dia terus menutupimu.  Kamu melakukan perbuatan yang mengundang hukumanNya, tetapi dia memberikan banyak waktu kepadamu untuk bertobat

Saya menasehatimu juga agar mengingat kematian dan mengurangi kelalaianmu atasnya.  Bagaimana kamu mengabaikan Dia yang tidak mengabaikanmu? Mengapa mengharapkan dari dia (malaikat pencabut nyawa) yang tidak akan memberi kesempatan kepadamu? Orang mati yang kamu lihat cukuplah sebagai penasehat.

Mereka dibawa ke kuburnya, tidak menunggang sendiri, dan di tempatkan kedalamnnya, tetapi bukan atas kemauan mereka sendiri.  Seakan-akan mereka tidak pernah hidup di dunia ini dan seakan akan akhirat telah merupakan kediaman mereka.  Mereka telah membuat sunyi tempat dimana mereka dulu hidup dan sekarang sedang hidup dimana dahulu mereka merasa sunyi.

Mereka dulu sibuk tentang apa yang mereka akan tinggalkan dan tidak peduli kemana mereka harus pergi.  Sekarang mereka tidak dapat melepaskan diri dari keburukan, tidak dapat pula menambah kebajikan mereka.  Mereka dilalaikan oleh dunia dan dunia itu menipunya.  Mereka mempercayainya dan menjungkirkan mereka

Semoga Allah menaruh belas kasihan kepadamu.  Maka dari itu, kamu harus bersegera kearah untuk mempersiapkan rumahmu, yang telah diperintahkan untuk diisi dan kemana kamu telah dipanggil dan diundang.  Carilah penyempurnaan nikmat Allah atasmu dengan sabar dengan ketaatan kepadaNya dan menahan diri dari pelanggaran karena hari besok dekat pada hari ini.  Begitu cepatnya saat-saat hari, begitu cepatnya hari-harinya bulan, betapa cepatnya bulan-bulannya tahun, dan betapa cepatnya tahun-tahunnya kehidupan.