Senin, 29 Agustus 2011

Muhammadiyah Terbelenggu Wujudul Hilal: Metode Lama yang Mematikan Tajdid Hisab

Oleh: Thomas Djamaluddin
Profesor Riset Astronomi -Astrofisika, LAPAN
Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementeria Agama RI

Perbedaan Idul Fitri dan Idul Adha sering terjadi di Indonesia. Penyebab utama BUKAN perbedaan metode hisab (perhitungan ) dan rukyat (pengamatan) , tetapi pada perbedaan kriterianya. Kalau mau lebih spesifik merujuk akar masalah, sumber masalah utama adalah Muhammadiyah yang masih kukuh menggunakan hisab wujudul hilal. Bila posisi bulan sudah positif di atas ufuk, tetapi ketinggiannya masih sekitar batas kriteria visibilitas hilal (imkan rukyat, batas kemungkinan untuk diamati) atau lebih rendah lagi, dapat dipastikan terjadi perbedaan.  Perbedaan terakhir kita alami pada Idul Fitri 1327 H/2006 M dan 1428 H/2007 H serta Idul Adha 1431/2010 . Idul Fitri 1432/ 2011 tahun ini juga hampir dipastikan terjadi perbedaan. Kalau kriteria Muhammadiyah tidak diubah, dapat dipastikan awal Ramadhan 1433/2012 , 1434/ 2013, dan 1435/2014 juga akan beda. Masyarakat dibuat bingung, tetapi hanya disodori solusi sementara, “mari kita saling menghormati” . Adakah solusi permanennya? Ada, Muhammadiyah bersama ormas-ormas Islam harus bersepakati untuk mengubah kriterianya.


Mengapa perbedaan itu pasti terjadi ketika bulan pada posisi yang sangat rendah, tetapi sudah positif di atas ufuk? Kita ambil kasus penentuan Idul Fitri 1432/ 2011. Pada saat maghrib 29 Ramadhan 1432/29 Agustus 2011 tinggi bulan di seluruh Indonesia hanya sekitar 2 derajat atau kurang, tetapi sudah positif. Perlu diketahui, kemampuan hisab sudah dimiliki semua ormas Islam secara merata, termasuk NU dan Persis, sehingga data hisab seperti itu sudah diketahui umum. Dengan perangkat astronomi yang mudah didapat, siapa pun kini bisa menghisabnya. Dengan posisi bulan seperti itu, Muhammadiyah sejak awal sudah mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 30 Agustus 2011 karena bulan (“hilal”) sudah wujud di atas ufuk saat maghrib 29 Agustus 2011. Tetapi Ormas lain yang mengamalkan hisab juga, yaitu Persis (Persatuan Islam), mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 31 Agustus 2011 karena mendasarkan pada kriteria imkan rukyat (kemungkinan untuk rukyat) yang pada saat maghrib 29 Agustus 2011 bulan masih terlalu rendah untuk bisa memunculkan hilal yang teramati. NU yang mendasarkan pada rukyat masih menunggu hasil rukyat. Tetapi, dalam beberapa kejadian sebelumnya seperti 1427/ 2006 dan 1428/2007 , laporan kesaksian hilal pada saat bulan sangat rendah sering kali ditolak karena tidak mungkin ada rukyat dan seringkali pengamat ternyata keliru menunjukkan arah hilal . Jadi, selama Muhammadiyah masih bersikukuh dengan kriteria wujudul hilalnya, kita selalu dihantui adanya perbedaan hari raya dan awal Ramadhan. Seperti apa sesungguhnya hisab wujudul hilal itu? Banyak kalangan di intern Muhammadiyah mengagungkannya, seolah itu sebagai simbol keunggulan hisab mereka yang mereka yakini, terutama ketika dibandingkan dengan metode rukyat. Tentu saja mereka anggota fanatik Muhammadiyah, tetapi sesungguhnya tidak faham ilmu hisab, seolah hisab itu hanya dengan kriteria wujudul hilal. Oktober 2003 lalu saya diundang Muhammadiyah sebagai narasumber pada Munas Tarjih ke- 26 di Padang. Saya diminta memaparkan “Kritik terhadap Teori Wujudul Hilal dan Mathla’ Wilayatul Hukmi”. Saya katakan wujudul hilal hanya ada dalam teori, tidak mungkin bisa teramati. Pada kesempatan lain saya sering mangatakan teori/kriteria wujudul hilal tidak punya landasan kuat dari segi syar’i dan astronomisnya. Dari segi syar’ i, tafsir yang merujuk pada QS Yasin 39-40 terkesan dipaksakan (rincinya silakan baca blog saya http:/ /tdjamaluddin. wordpress.com /2011/ 07/28/ hisab- dan-rukyat -setara -astronomi- menguak-isyarat-lengkap- dalam-al -quran-tentang -penentuan- awal-ramadhan- syawal-dan -dzulhijjah/ ). Dari segi astronomi, kriteria wujudul hilal adalah kriteria usang yang sudah lama ditinggalkan di kalangan ahli falak.

Kita ketahui, metode penentuan kalender yang paling kuno adalah hisab urfi (hanya berdasarkan periodik, 30 dan 29 hari berubalang-ulang, yang kini digunakan oleh beberapakelompok kecil di Sumatera Barat dan Jawa Timur, yang hasilnya berbeda dengan metode hisab atau rukyat modern) . Lalu berkembang hisab imkan rukyat (visibilitas hilal, menghitung kemungkinan hilal teramati), tetapi masih menggunakan hisab taqribi (pendekatan ) yang akurasinya masih rendah. Muhammadiyah pun sempat menggunakannya pada awal sejarahnya.  Kemudian untuk menghindari kerumitan imkan rukyat, digunakan hisab ijtimak qablal ghurub (konjungsi sebelum matahari terbenam) dan hisab wujudul hilal (hilal wujud di atas ufuk yang ditandai bulan terbenam lebih lambat daripada matahari). Kini kriteria ijtimak qablal ghurub dan wujudul hilal mulai ditinggalkan, kecuali oleh beberapa kelompok atau negara yang masih kurang keterlibatan ahli hisabnya, seperti oleh Arab Saudi untuk kalender Ummul Quro-nya . Kini para pembuat kalender cenderung menggunakan kriteria imkan rukyat karena bisa dibandingkan dengan hasil rukyat. Perhitungan imkan rukyat kini sangat mudah dilakukan, terbantu dengan perkembangan perangkat lunak astronomi. Informasi imkanrur rukyat atau visibilitas hilal juga sangat mudah diakses secara online di internet.

Muhammdiyah yang tampaknya terlalu ketat menjauhi rukyat terjebak pada kejumudan (kebekuan pemikiran) dalam ilmu falak atau astronomi terkait penentuan sistem kelendernya. Mereka cukup puas dengan wujudul hilal , kriteria lama yang secara astronomi dapat dianggap usang. Mereka mematikan tajdid (pembaharuan ) yang sebenarnya menjadi nama lembaga think tank mereka, Majelis Tarjih dan Tajdid. Sayang sekali. Sementara ormas Islam lain terus berubah. NU yang pada awalnya cenderung melarang rukyat dengan alat, termasuk kacamata, kini sudah melengkapi diri dengan perangkat lunak astronomi dan teleskop canggih. Mungkin jumlah ahli hisab di NU jauh lebih banyak daripada di Muhammadiyah, walau mereka pengamal rukyat. Sementara Persis (Persatuan Islam), ormas “kecil” yang sangat aktif dengan Dewan Hisab Rukyat-nya berani beberapa kali mengubah kriteria hisabnya. Padahal, Persis kadang mengidentikan sebagai “saudara kembar” Muhammadiyah karena memang mengandalkan hisab, tanpa menunggu hasil rukyat. Persis beberapa kali mengubah kriterianya, dari ijtimak qablal ghrub , imkan rukyat 2 derajat, wujudul hilal di seluruh wilayah Indonesia, sampai imkan rukyat astronomis yang diterapkan.

Demi penyatuan ummat melalui kalender hijriyah, memang saya sering mengkritisi praktek hisab rukyat di NU , Muhammadiyah, dan Persis. NU dan Persis sangat terbuka terhadap perubahan. Muhammadiyah cenderung resisten dan defensif dalam hal metode hisabnya. Pendapatnya tampak merata dikalangan anggota Muhammadiyah, seolah hisab itu hanya dengan kriteria wujudul hilal. Itu sudah menjadi keyakinan mereka yang katanya sulit diubah. Gerakan tajdid (pembaharuan ) dalam ilmu hisab dimatikannya sendiri. Ketika diajak membahas kriteria imkan rukyat, tampak apriori seolah itu bagian dari rukyat yang terkesan dihindari.

Lalu mau kemana Muhammadiyah? Kita berharap Muhammadiyah, sebagai ormas besar yang modern, mau berubah demi penyatuan Ummat. Tetapi juga sama pentingnya adalah demi kemajuan Muhammadiyah sendiri, jangan sampai muncul kesan di komunitas astronomi “Organisasi Islam modern, tetapi kriteria kelendernya usang” . Semoga Muhammadiyah mau berubah!

Minggu, 14 Agustus 2011

Sudah Berapa Juz Alqur`an yang dibaca...???

Pahala mengamalkan satu sunnah pada bulan Ramadhan sama dengan pahala beramal wajib di luar Ramadhan. Dan pahala menunaikan satu amalan wajib pada bulan Ramadhan sama dengan pahala menunaikan tujuh puluh amalan wajib di luar bulan Ramadhan. Berkenaan dengan hal ini, kita hendaknya memikirkan keadaan ibadah kita. Dalam bulan keberkahan ini hendaknya kita berpikir, sejauh manakah perhatian kita dalam menyempurnakan kewajiban dan menambah amalan suhnah. Perhatian kita terhadap amalan fardhu pada saat ini adalah demikian : Kebanyakan di antara kita meneruskan tidur setelah sahur, sehIngga mengqadha’ shalat Shubuh, setidak-tidaknya tertinggal shalat berjamaah. Seolah-olah inilah syukur kita, ibadah wajib yang sangat perlu diperhatikan malah kita qadha’ atau paling tidak kita menguranginya.

Padahal, para ahi ushul berpendapat bahwa shalat tanpa berjamaah adalah suatu kekurangan, bahkan Nabi saw. bersabda bahwa seolah-olah tidak sah shalat mereka yang tinggal di sekitar masjid, kecuali di masjid. Tertulis di dalam Mazhahiril-Haq bahwa barangsiapa shalat tanpa berjamaah tanpa udzur, maka kewajiban shalatnya sudah terpenuhi, namun pahala shalatnya tidak ia dapatkan. Demikian juga dengan shalat Maghrib. Biasanya, ketika itu orang sedang sibuk berbuka puasa, sehingga tidak perlu dibicarakan lagi tentang orang-orang yang tertinggal rakaat pertama atau takbir pertama. Mengenai shalat Isya, karena beranggapan untuk mengganti kebaikan-kebaikan pada shalat Tarawih, banyak yang shalat Isya sebelum waktunya.

Demikianlah amalan kita pada bulan Ramadhan. Karena ingin menunaikan satu amalan wajib, tiga amalan wajib lainnya dilalaikan. Inilah yang paling sering terjadi. Sedangkan shalat Zhuhur, karena tidur sebelum Zhuhur (qailulah), kita tertinggal shalat berjamaah Zhuhur. Begitu juga dengan shalat Ashar. Karena sibuk mempersiapkan makanan ifthar, maka tertinggallah shalat berjamaah Ashar.

Itulah yang semestinya kita pikirkan, sejauh manakah kita menunaikan kewajiban-kewajiban pada buan Ramadhan yang penuh berkah ini. Jika yang wajib saja begitu sulit untuk diamalkan, bagaimana dapat mengamalkan yang sunnah? Shalat Isyraq dan Dhuha pada bulan Ramadhan sering kita tinggalkan karena tidur. Apalagi shalat Awwabin, karena sibuk berbuka dan khawatir dengan shalat Tarawih yang panjang, akhirnya shalat Awwabin ditinggalkan, dan waktu shalat Tahajjud kita juga habis karena digunakan untuk sahur. Apabila demikian, kapankah ada kesempatan untuk melakukan shalat sunnah. Semua ini terjadi karena orang-orang tidak memperhatikan atau tidak ingin mengamalkannya.

Sebuah syair berbunyi:
Jika tidak ada kemauan, beribu-ribu alasan dapat engkau kemukakan.

Namun demikian, betapa banyak hamba Allah yang sempat memanfaatkan kesempatan yang sangat bernilai ini. Saya melihat sendiri guru saya, Syaikh Khalil Ahmad (nawwarallahu marqadahu) dalam beberapa bulan Ramadhan, dalam keadaan lemah dan lanjut usia, ia biasa membaca dan memperdengarkan satu seperempat juz Al-Qur’an dalam shalat nafil setelah Maghrib. Kemudian selama setengah jam ia makan dan menunaikan beberapa keperluan. Biasanya ia shalat Tarawih dan Isya kurang Iebih dua atau dua seperempat jam ketika di India, dan tiga jam ketika tinggal di Madinah. Lalu ia tidur selama dua atau tiga jam, sesuai dengan musimnya. Setelah itu ia membaca Al-Qur’an di dalam Tahajjud. Setengah jam sebelum shalat Shubuh, ia akan makan sahur, kemudian sibuk membaca hafalan Al-Qur’an atau wirid hingga Shubuh. Setelah shalat Shubuh dilanjutkan dengan muraqabah sampai Isyraq. Setelah itu, ia beristirahat lebih kurang satu jam, lalu sibuk menulis Badzlul-Majhud dalam bahasa Arab (sebuah kitab syarah hadits Abu Dawud) sampai tengah hari. Setelah itu ia membaca surat-surat dan mendiktekan balasannya (jika musim panas) hingga pukul 13.00. Kemudian Ia beristirahat kembali hingga tiba shalat Zhuhur dan membaca Al-Qur’an dan Zhuhur sampai Ashar. Dan dari Ashar sampai Maghrib, ia sibuk bertasbih dan berbincang-bincang dengan tamu-tamunya.

Ketika penulisan Badzlul-Majhud selesai, ia mengisi waktunya dengan menelaah kitab-kitab agama dan membaca Al-Qur’an. Ketika itu ia sangat berkonsentrasi terhadap Badzlul-Majhud dan Wafaul- Wafa. Demikianlah kegiatan tetap kesehariannya pada bulan Ramadhan tanpa ada perubahan. Dan shalat-shalat sunnah tersebut adalah amal harian yang biasa ia kerjakan, namun pada bulan Ramadhan rakaatnya lebih diperpanjang.

Para masyaikh lainnya juga sangat memperhatikan bulan Ramadhan, bahkan lebih hebat lagi, sehingga kita sulit meneladaninya. Syaikhul-Hindi (Syaikh Mahmudul-Hasan rah.a.) biasa mengenjakan shalat nafil setelah shalat Tarawih hingga fajar dan mendengarkan bacaan Al-Qur’an beberapa orang hafidz secara bergantian. Syaikh Abdurrahim Raipuri sibuk membaca Al-Qur’an siang dan malam selama bulan Ramadhan, sehingga ia tidak sempat melakukan surat menyurat atau menerima tamu. Para khadim dekatnya saja yang diizinkan sejenak menemuinya, yaitu setelah shalat Tarawih pada waktu minum satu dua cangkir teh.

Maksud saya menceritakan amalan para masyaikh dalam menghabiskan bulan Ramadhan ini bukan sekadar untuk bahan bacaan atau menyebarkan pemikiran, tetapi bertujuan untuk mendorong kita agar mengikuti mereka sesuai kemampuan yang ada. Betapa beruntung orang yang tidak bergantung pada kesibukan dunia dan berusaha memperbaiki kehidupannya dalam bulan ini, setelah melewati sebelas bulan lainnya dengan sia-sia.

Bagi orang yang biasa bekerja dan jam 08.00 hingga 16.00, tentu tidak memberatkan jika pada bulan Ramadhan dari Shubuh sampai jam kerja waktunya digunakan untuk membaca Al-Qur’an. Meskipun sibuk dengan urusan dunia, kita tetap memiliki waktu untuk membaca Al-Qur’an, bahkan pada jam kerja sekalipun. Bagi yang sibuk di pertanian yang tidak bekerja atas perintah orang lain, jelas tidak ada penghalang untuk membaca membaca Al Qur’an ketika bekerja di sawah. Ia bebas menggunakan waktu kerjanya. Sambil duduk-duduk, ia dapat membaca Al-Qur’an. Demikian pula dengan pedagang; pada bulan Ramadhan, setidaknya mereka dapat mempersingkat jam kerjanya atau paling tidak menunggu dagangannya sambil membaca Al-Qur’an. Bagaimanapun, ada hubungan yang erat antara Ramadhan dengan Al-Quran.

Oleh sebab itu, hampir semua Kitabullah diturunkan pada bulan ini. Begitu pula Al-Qur’an telah diturunkan dari Lauhul-Mahfuzh ke langit dunia pada bulan Ramadhan. Lalu diturunkan berangsur-angsur menurut kejadiannya dalam masa kurang lebih 23 tahun. Selain itu, Ibrahim a.s. telah menerima shuhufnya (kitab suci) pada tanggal 1 atau 3 Ramadhan. Dawud a.s. menerima Zabur pada tanggal 18 atau 12 Ramadhan. Musa as. menerima Taurat pada hari ke-6, Isa a.s. menerima Injil pada hari ke-13. Dari sini dapat diketahui adanya hubungan yang erat antara kitab Allah dengan Ramadhan. Oleh karena itu, hendaknya kita membaca Al-Qur’an sebanyak mungkin pada bulan ini. Demikianlah kebiasaa waliyullah. Jibril a.s. pun membacakan seluruh Al-Qur’an kepada Muhammad saw. pada bulan Ramadhan. Riwayat lain menyatakan Nabi saw. yang membaca dan Jibril a.s. mendengarkannya.

Dengan menggabungkan riwayat-riwayat tersebut, para ulama menyatakan bahwa mustahab (sangat dianjurkan) membaca Al dengan cara seperti itu (seorang membaca, yang lain mendengarkan secara bergantian). Bacalah Al-Qur’an kapan saja ada kesempatan, dan waktu yang lain jangan disia-siakan.

(Kitab "Fadhillah Amal" Fadhillah Ramadhan yang disusun oleh Maulana Muhammad Zakaria Al-Khandalawi RA)