Sabtu, 25 September 2010

Tawadhu

Para salaf shalih memiliki sikap sangat tawadhu, bahkan di antara mereka ada yang ber-tabarruk kepada muridnya sendiri dan membawakan bawaan sang murid, tanpa peduli bahwa dirinya lebih tahu tentang jalan syari`at daripada sang murid.

Kami mendengar kisah Imam asy-Syafi`i mengirim utusan kepada Imam Ahmad ibn Hanbal untuk mengabarkan bahwa Imam Ahmad akan terjebak dalam malapetaka besar, tapi ia akan selamat dari malapetaka itu (yakni masalah apa Alqur`an itu makhluk atau bukan makhluk). Ketika sang utusan mengabarinya, Imam Ahmad menanggalkan gamisnya karena gembira menerima kedatangan utusan asy-Syafi`i, lalu gamis itu diberikannya kepada sang utusan. Saat utusan itu kembali dengan membawa gamis dan menceritakan peristiwa itu kepada asy-Syafi`i. Asy-Syafi`i bertanya, “Apakah gamis itu melekat pada tubuhnya tanpa penghalang yang lain?” Sang utusan itu menjawab, “Ya” Maka imam asy-Syafi`i pun menerimanya, lalu menempelkannya di kedua matanya. Ia menyiram gamis itu dengan air dalam sebuah bejana, lalu membilasnya dan memerasnya. Kemudian ia simpan air bekas membilas gamis itu di dalam botol. Kemudian ia membagi dan mengirimkan air itu kepada setiap sahabatnya yang sedang sakit. Jika yang sakit membasuh tubuhnya dengan air tersebut, saat itu juga ia akan sembuh.


Saudaraku, perhatikanlah! Bagaimana sikap tawadhu Imam Asy-Syafi`i bersama Imam Ahmad, padahal Imam Ahmad merupakan salah satu muridnya. Hal ini menunjukkan kepadamu bahwa, para salaf shalih r.a. tidak memandang diri mereka lebih unggul daripada Muslim lain, meskipun mereka memiliki amal yang sangat banyak. Berbeda dengan orang-orang di zaman sekarang yang menganggap diri sebagai seorang Syaikh.


Orang terakhir yang kuketahui memiliki sikap seperti Imam Asy-Syafi`i—Percaya dan ber-tabarruk kepada muridnya, juga mengirimkan orang-orang yang sakit dan menderita kepadanya untuk diobati---adalah Syaikh Muhammad ibn `Anan dan Syaikh Muhammad as-Sarwi r.a. Syaikh Muhammad ibn `Anan mengirim orang yang memohon doa agar sembuh dari sakitnya kepada Syaikh Yusuf al-Harisi, sementara Syaikh Muhammad as-Sarwi mengirim oranf seperti ini kepada Syaikh Ali al-Hadidi, padahal Syaikh Yusuf dan Syaikh Ali adalah murid mereka.


Semoga Allah Ta`ala meridhai para shadiqin. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.


Sumber : Terapi Ruhani, Peringatan bagi mereka yang terpedaya (Tanbih al-Mughtarrin,karya Syaikh Abdul Wahhab asy-Sya`rani)

Nasehat syeikh Abdul Qadir al Jilani

Mengikuti Pengajian Syeikh Abdul Qadir al-Jilany
Pagi, Bulan Dzul Qa’dah, 545 H. di Madrasahnya

Ada yang bertanya, bagaimana caranya saya agar bisa mengeluarkan dunia dari hati saya? Caranya? lihatlah bagaimana mondar-mandirnya, problematisnya dunia melalui para pecinta dunia dan generasi duniawi, bagaimana dunia membuat mereka terpedaya dan terekayasa, membuat mereka alpa dan menyeret mereka di belakang dunia, hingga dunia menumpuk di punggung mereka, memamerkan keajaibannya, dan kemewahannya.
 

Diantara mereka ada yang gembira, menikmati fasilitas dunia, hidupnya penuh dengan kecukupan dan banyak orang yang menghambakan pada dunia. Dan pundit-pundi dunia seperti sesuatu yang terikat di atas leher dan kepala mereka, tiba-tiba runtuh, hancur dan luluh lantah seketika. Dunia hanya terkekeh-kekeh menertawai mereka, sedangkan Iblis ada di sisinya tertawa bersama-sama dengan dunia.  Inilah sebuah aktivitas yang dikerjakan para raja, para penguasa, orang-orang kaya sejak zaman Nabi Adam dulu sampai besok hari kiamat. Dunia yang membuat mereka melambung namanya, tetapi juga menyungkurkan derajatnya. Dunia yang membuat mereka maju tetapi sekaligus terpental mundur ke belakang. Dunia yang membuat mereka kaya sekaligus membuat mereka jadi sangat miskin.
 

Yang paling langka diantara mereka, justru yang selamat. Karena dia bias mengalahkan dunia bukan dikalahkan dunia. Mereka tertolong dan terselamatkan Dari kejahatan duniawi. Dan mereka tergolong sangat terhitung jari. Mereka selamat dan tertolong karena mereka mengenal watak dunia, dan sangat kuat dalam mewaspadai tipudayanya.
 

Wahai penanya, jika anda bias memandang dengan kedua matahatimu pada cacat-cacat dunia, engkau bias mengeluarkan dunia dari dalam hatimu. Namun bila engkau memandang dengan bola matamu engkau akan sibuk dengan pesonanya, dan segala cacat dunia akan tertutup, sehingga kamu tidak mampu mengeluarkan dunia dari hatimu, engkau tidak mampu zuhud dari dunia, dan engkau malah dibunuh dunia sebagaimana orang lain membunuhmu.
 

Perangilah dirimu sendiri sampai dirimu meraih ketentraman. Bila engkau meraih ketentraman, dunia akan tampak cacat-cacatnya dan anda pun zuhud dari dunia. Ketentramannya terletak pada sikap hati yang menerima, dan sikap berselaras pada sirr (rahasia hati), dan jiwamu patuh pada keduanya atas apa yang diperintah dan dilarang oleh hati dan sirr. Anda menerima pemberiaan atau halangannya sekali pun. Itulah jiwamu akan tenteram pada qalbumu. Engkau akan melihat mahkota ketaqwaan dan kedekatan kepadaNya.
 

Karena itu hendaknya anda tetap teguh beriman yang benar, meninggalkan kedustaan, dan meninggalkan kontra dengan para Sufi. Jangan sampai kalian menentangnya, karena para Sufi adalah para penguasa dunia dan akhirat, mereka adalah para penguasa kedekatan Ilahi, karena mereka menguasai segala hal selain Allah.
 

Allah ta'ala telah mencukupi kaum Sufi dengan memenuhi hatinya untuk dekat kepadaNya, bermesraaan dalam kegembiraan cinta, dengan kemuliaan dan cahayaNya, kaum Sufi tidak menghiraukan orang yang memiliki dan memakan dunia, tidak memandang generasinya awal dan akhirnya, bahkan kehancurannya. Mereka menjadikan Allah Ta'ala sebagai pandangan mata rahasia batinnya. Mereka beribadah bukan karena takut akan kehancuran, tidak pula karena harapan memiliki, karena mereka diciptakan hanya untukNya, abadi bersamaNya, karena Allah menciptakan mereka sesuatu yang tidak anda ketahui. Allah berbuat sekehendakNya.
 

Sementara orang munafik itu ketika bicara malah berdusta, ketika berjanji malah menipu, ketika diberi amanah malah khianat. Siapa yang bebas dari ketiga karakter ini - sebagaimana dalam hadits Nabi SAW - berarti bebas dari kemunafikan.
 

Pekerti inilah yang membedakan antara Mu'min dan Munafik, maka raihlah sebagai cermin apakah dirimu itu munafik atau m'min, apakah dirimu bertauhid apakah musyrik. Dunia secara keseluruhan adalah fitnah dan sangat menghabiskan kesibukan, kecuali jika anda punya niat pada dunia untuk kemashlahatan akhirat. Bila niat benar maka semuanya akan menjadi ukhrawi. Jangan sampai nikmat ini semua sunyi dari syukur kepada Allah. Karena itu ikatlah nikmat Allah dengan syukur kepadaNya. Syukur kepada Allah Ta'ala dengan berterimakasih kepadaNya. Syukur itu sendiri ada dua macam.
 

Pertama: memanfaatkan nikmat untuk ketaatan dan menolong orang miskin;
Kedua; mengakui penuh bahwa yang memberi nikmat adalah Allah Ta'ala, dan berterimakasih kepadaNya.