Jumat, 27 Januari 2012

Guru Sesungguhnya

Semasa hidup gus dur pernah bercerita dalam sebuah acara di Pondok al Hikam Malang, tentangseorang santri yang hobinya mencuri celana dalam santri putri. Begitu ketahuan, pengurus pondok memutuskan untuk mengeluarkan oknum itu dari pesantren. Mendengar ini, Kyai Abdul Fatah malah melarang dan bahkan malah memberi kamar khusus untuk oknum santri itu di ndalemnya. Kyai Fatah beralasan mereka datang ke pesantren untuk diperbaiki akhlaknya. Kalau sudah baik akhlaknya nda perlu lagi di pesantren.

Di Pesantren HM Lirboyo, suatu hari pengurus pondok memutuskan mengeluarkan  seorang santri yang ketahuan mencuri harta benda santri-santri lain. santri itu bahkan menyemir rambutnya dengan warna merah, dan berpenampilan layaknya seorang preman. Saat keputusan mengeluarkan itu didengar oleh Kyai Kafabihi, kyai menangisinya, seperti kyai fatah, kyai kafabihi menanyakan bagaimana kalau anak itu dikeluarkan dan menjadikannya berperilaku lebih parah? tapi berbeda dengan kyai fatah, kyai Kafabihi menghormati putusan pengurus pondok, "meski pengurus pondok itu santri2 kyai kafa sendiri".

Saat abah jalannya belum tertatih seperti sekarang ini, beliau dengan sabar setiap pagi membangunkan santri2 untuk bershalat subuh. suatu hari ada seorang santri yang tidak menyadari kalau yang membangunkan subuh itu abah, dia menarik tongkat abah... hingga hampir terjengkang. abah tertawa... besok harinya...santri yang sama yang memang sulit dibangunkan... saat dibangunkan abah, dia malah nungging dan mengentuti abah... abah tak pernah sakit hati

Lelah... sepulang kuliah dulu, membuat saya seringkali tertidur saat ngaji didepan Habib Shaleh Ibn Ahmad Ibn Salim Alaydrus... suatu hari saat terkantuk-kantuk, tiba-tiba Habib berkata: "wahai para ustadz, ketahuilah janganlah engkau mentang-mentang menjadi guru; jangan tergesa-gesa memvonis muridmu jelek saat mereka melakukan kesalahan, meski kesalahan sekecil apapun itu. termasuk juga saat muridmu mengantuk... sadarlah dan pikirkanlah, jangan-jangan mereka itu digerakkan oleh Allah untuk mengingatkanmu, karena kamu para ustadz lalai terhadap Allah."

Ustadz Ali Haidar yang pada waktu itu menjadi sekretaris Rabithah Maahidil Islam, dalam sebuah seminar dikritik oleh kalangan akademisi tentang kurikulum pesantren yang tidak mencerdaskan. Ustadz Ali Haidar menjawab: "pesantren memang tidak sedang mencetak orang pintar, tapi pesantren mencetak orang benar... orang yang berakhlak."

Saat pertama kali sowan kepada kyai Luthfi Ghozali, beliau berkali-kali menyitir al baqarah 134 "wa-aafi aninnaas" dan berpesan kepada saya bahwa seorang muttaqien, adalah seorang yang pemaaf. Orang-orang yang menyakiti itu pada hakekatnya diutus Allah untuk menguji seberapa pantas seseorang menyandang derajat ketaqwaan, atau bahkan sedang membuka hijab kita dengan Allah. "karenanya jangan terlalu membenci seorang yang berbuat buruk kepada kita." begitu pesan beliau.

Guru di pesantren... tidak seringan beban guru di dunia pendidikan formal, apalagi yang hanya mengedepankan parameter sukses pada angka-angka raport. Guru di pesantren lebih sebagai sosok yang merawat ruh muridnya, mengajarkan bagaimana mengenali kehidupan dengan sentuhan hati. Sentuhan hati yang dekat dengan RABB. karenanya pantaskah kita menyebut diri sebagai seorang guru saat memperlakukan murid-murid dengan hanya melihat fisik jasmani saja? mungkin mengeluarkan murid yang bermasalah bukan suatu problem didunia pendidikan umum, tapi bagi orang-orang pesantren, mengeluarkan murid bermasalah hanyalah menunjukkan ego dan ketidak sadaran "guru" bahwa dia telah menunjukkan kegagalannya dalam merawat ruh santri dan kedangkalan hubungannya dengan Allah....

waLLahu a'lam bissowab. mbuh bener mbuh ora... mung Pengeran sing Pirso.


Sumber : http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150513038682899