Sabtu, 23 Oktober 2010

E-book Maulid Dibai (Scan Kitab)


Satu karya mawlid yang masyhur dalam dunia Islam ialah mawlid yang dikarang oleh seorang ulama besar dan ahli hadits iaitu Imam Wajihuddin 'Abdur Rahman bin Muhammad bin 'Umar bin 'Ali bin Yusuf bin Ahmad bin 'Umar ad-Diba`ie asy-Syaibani al-Yamani az-Zabidi asy-Syafi`i.
 

Beliau dilahirkan pada 4 haribulan Muharram tahun 866H dan wafat hari Jumaat 12 Rajab tahun 944H. Beliau adalah seorang ulama hadits yang terkenal dan tiada tolok bandingnya pada masa hayatnya. Beliau mengajar kitab Shohih Imam al-Bukhari lebih dari 100 kali khatam. Beliau mencapai darjat Hafiz dalam ilmu hadits iaitu seorang yang menghafal 100,000 hadits dengan sanadnya. Setiap hari beliau akan mengajar hadits dari masjid ke masjid. Di antara guru-gurunya ialah Imam al-Hafiz as-Sakhawi, Imam Ibnu Ziyad, Imam Jamaluddin Muhammad bin Ismail, mufti Zabid, Imam al-Hafiz Tahir bin Husain al-Ahdal dan ramai lagi. Selain daripada itu, beliau juga seorang muarrikh, yakni ahli sejarah, yang terbilang. Di antara kitab karangannya ialah :
  
* "Taisirul Wusul ila Jaami`il Usul min Haditsir Rasul" yang mengandungi himpunan hadits yang dinukil daripada kitab hadits yang 6.

* "Tamyeezu at-Thoyyib min al-Khabith mimma yaduru 'ala alsinatin naasi minal hadits" sebuah kitab yang membezakan hadits sahih dari selainnya seperti dhaif dan maudhu.
 

* "Qurratul 'Uyun fi akhbaril Yaman al-Maimun".

* "Bughyatul Mustafid fi akhbar madinat Zabid".

* "Fadhail Ahl al-Yaman".


Silahkan Download E-book Maulid Dibai (ScanKitab) di bawah ini :

Menyingkap Propaganda Fikih Umar (2)


Berbicara tentang fikih Umar ra., terlintas pertanyaan di benak kita; benarkah sahabat yang diberi gelar al-faruq (pemisah antara haq dan bathil) oleh Rasulullah saw. itu telah melanggar ketentuan hukum al-Qur’an dan hadits? Berani-beraninya dia mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan nash sharih? Jawabnya, bisa iya, bisa juga tidak. Tergantung ideologi dan kepentingan ‘juri’nya. Namun yang jelas, fenomena tentang Fikih Umar ra. telah membawa angin segar dan menjadi vitamin tambahan bagi kelompok liberal.

Sepintas lalu, keputusan Umar ra. yang tidak memberikan zakat kepada dua pemuda yahudi yang baru masuk Islam (mu’allaf qulubuhu), tidak memotong tangan pencuri, tidak membagi-bagikan tanah ghanimah Syiria dan Irak kepada tentara muslimin—dan seabrek kasus lainnya—bertentangan dengan nash-nash sharihshorih al-Qur’an dan hadits. Namun, seandainya kita lebih jeli dalam membaca sejarah serta teliti dalam memahami nash, niscaya kita akan mengerti dan sadar bahwa semua kebijakan Umar ra. tidak pernah menyalahi nash al-Qur’an maupun hadits.
Dalam berbagai literatur sejarah disebutkan, terjadi tiga kasus pencurian di masa pemerintahan khalifah Umar ra. yang kemudian tidak dihukum potong tangan. Pencurian pertama dan yang kedua di saat terjadi krisis ekonomi di kalangan Arab saat itu. Dan kedua pencuri tersebut mengaku sangat terpaksa untuk menyambung hidup. Khalifah Umar ra. kemudian beralasan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “tidak ada potong tangan di masa peceklik” (al-Mabsuth juz 10). “Orang yang terpaksa saja diperbolehkan makan bangkai yang sedianya diharamkan oleh Allah” kata Umar ra. menguatkan argumentasinya.

Sedang kasus pencurian lainnya adalah salah satu budak Abdullah bin Amr bin al-Hadlromi yang mencuri harta tuannya. Khalifah Umar ra. tidak memotong budak itu karena dalam kasus tersebut masih mengandung syubhat; bahwa kesejahteraan hidup seorang budak menjadi tanggung jawab sang tuan. Jika kemudian si budak mencuri harta tuannya semata demi sesuap nasi, itu berarti tuan itu tidak memperhatikan hak-hak si budak, sehingga dalam harta curian tersebut terdapat hak si budak. “Menggagalkan had lebih baik dari pada melaksanakannya dalam kasus yang masih syubhat” kata Umar. Hal ini sesuai dengan pesan Nabi saw. “Hindarilah memberikan siksaan kepada orang Islam sebisa mungkin. Karena Imam yang keliru memberi ampunan itu lebih baik dari pada keliru memberikan siksaan. Jika kalian masih menemukan jalan keluar, maka hindarilah had itu”. Dengan demiakian, berarti keputusan Umar ra. juga berdasarkan nash hadits dan al-Qur’an. Begitu pula dengan keputusannya menangguhkan zakat kepada dua pemuda yahudi yang mengaku mu’allaf

Ada tiga kelompok orang yang tergolong dalam katagori ini. Pertama, orang kafir yang diharapkan keluluhan hatinya agar masuk Islam Kedua, pembesar orang musyrik/kafir yang diharapkan agar tidak memusuhi umat muslim. Ketiga, orang yang baru Islam dan imannya masih labil. (Dr. Nadiah Syarif, 1987: 271).

Dalam hadits riwayat Muslim disebutkan, Nabi Muhammad saw. pernah memberikan zakat kepada orang muallaf kafir, di antaranya kepada Shafwan bin Umayyah. Pemberian zakat kepada mereka disebabkan karena umat Islam saat itu masih sedikit. Setelah beliau wafat, ketika umat Islam kuat, para khalifah yang empat tidak ada memberikan zakat kepada mereka. Di masa khalifah Umar ra., umat Islam sedang mencapai puncak kejayaannya setelah menamatkan sejarah kejayaan Persia di Iran dan hanya bersaing dengan Imperialis Romawi. Maka kemudian munncul pertanyaan, masih adakah orang yang masuk muallaf? Umar ra. menjawab, “Dulu, Rasulullah saw. memang pernah memberikan zakat kepada kalian, karena saat itu umat Islam masih sedikit. Tapi, kini Allah telah memuliakan agama Islam dan kaum muslimin. Maka, pergilah! Jika kau ingin beriman, berimanlah. Jika ingin kafir, kafirlah!”. Konklusinya, keputusan khalifah Umar ra. tidak memberikan zakat kepada mereka bukan bertentangan dengan al-Qur’an, tapi karena memang sudah tidak ada muallaf lagi. 

Dari sini jelas bahwa tindakan revolusioner Umar ra. di atas tidak bertentangan pesan dan sabda agama. Apa yang ia lakukan hanya sebatas reinterpretasi terhadap nash sesuai dengan konteks sosial kala itu, dengan mempertimbangkan nash-nash yang lain. Nah, kontekstualisasi ala Umar ra. inilah yang tidak sepenuhnya terjamah oleh pemikiran intelektual Islam modern; di mana semangat keadilan, demokrasi dan toleransi serta jargon-jargon iblistis lainnya sangat dominan dalam pengambilan hukum. Akibatnya, yang terjadi kemudian adalah marginalisasi peran nash al-Qur’an dan hadits. Jadi, sekali lagi, tidak ada standart ganda bagi seorang Umar ra.. Otoritas nash tetap berada di atas segalanya. Baginya, posisi akal hanya sebatas menafsiri tidak sebagai hakim utama. Memang betul bahwa al-Qur’an adalah sebagian dari firman Allah, bukan seluruhnya. Tapi, kita mesti sadar bahwa otak kita terlalu najis untuk membaca firman Allah yang lain yang tidak termaktub itu. Firman Allah—baik yang termaktub atau tidak—bukan barang murahan yang siapa pun bisa membacanya.

Kisah bahwa Umar ra. pernah menarik baju Rasulullah saw. sampai tiga kali ketika beliau hendak menshalati janazah Abdullah bin Ubai (pimpinan kaum munafiq) adalah bukti nyata bagaimana kegigihan seorang Umar ra. membela perintah dan larangan al-Qur’an, di hadapan Rasulullah saw. sekalipun. Alhasil, penilain tak adil kelompok liberal terhadap fikih Umar ra. adalah fitnah dan berupa propaganda belaka untuk menjustifikasi dan melegetimasi ‘ajaran’ barunya. 

Dus, zaman terus berkembang. Pesan agama yang berupa al-Qur’an dan hadits—sebagai sumber utama agama—harus dipahami secara kontekstual sesuai dengan kemaslahatan dan realitas masyarakat. karena???(). Tapi, semangat suci ini tidak bisa dengan cara memaksa-maksakan kehendak Tuhan—dengan rumusan hermeneutika yang sok hebat—agar adaptip dengan zaman atau pembatasan otoritas nash pada ruang dan waktu tertentu di mana nash itu ditegaskan. Karena cara ini, kata Dr. Yusuf al-Qordlowi, sama halnya dengan kita meragukan kekuasaan Allah swt. “Dengan melakukan pembatasan otoritas nash berarti kita telah melecehkan Allah. Dianggapnya Allah swt. tidak mengetahui keadaan hamba-Nya yang akan datang. Allah maha mengetaui yang telah lalu dan yang akan datang. Semua kebijakannya menyimpan sejuta hikmah. Hanya orang kafir saja yang mengingkari hikmah-Nya” Dr. Al-Qordlowi, 1417 H).

Di bagian akhir tulisannya, ulama terkemuka asal Mesir ini melontarkan sebuah pertanyaan menarik, “Mengapa kehendak Tuhan yang harus disesuaikan dengan kemauan manusia? Mengapa bukan hamba dunia itu yang harus disesuaikan dengan kehendak Tuhan?” hayya natafakkar.

Menyingkap Propaganda Fikih Umar (1)

Ketika sebuah wacana keislaman ditawarkan, terlebih jika wacana itu bersifat ‘melawan arus’ yang melabrak-labrak, maka lahir berbagai macam aksi dan tanggapan. Ada yang mendukung dan ada pula yang menantang. Hal ini wajar. Dan, semangat intelektual itu perlu dihargai dengan memberikan ruang waktu yang cukup untuk membuktikan kebenarannya. Yang tidak wajar adalah jika barang baru itu—meminjam istilahnya Nurcholis Madjid—berupa usaha menghalalkan kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya. 

Seperti halnya dengan gerakan Islam leberal yang diusung oleh sebagian kelompok intelektual muda Islam dalam konteks negara kita, yang kemudian menjadi polemik berkepanjangan. Bahkan salah satu anggota gerakan tersebut diajukan kepengadian oleh pihak lawan (kaum fundamentalis) agar dihukum mati, dengan tuduhan telah melecehkan Allah, Rasul dan agama-Nya. 

Terlepas dari polemik di atas, diakui atau tidak, dinamika pemikiran intelektual muslim adalah suatu keniscayaan sejarah, sunnatullah bagi umat Islam sebagai salah satu upaya mencari kebenaran dan mensinergikan pesan-pesan Islam (al-Qur’an dan hadits) dengan perubahan sosial. Pun pula, diperlukan kontekstualisasi—atau bahkan aktualisasi—untuk menjawab berbagai macam problematika kekinian yang terus berkembang. Permasalahan selanjutnya, seberapa pantaskah kita harus melakukan kajian dan aktualisasi terhadap ayat-ayat al-Qur’an? Di sinilah, pertarungan dan ketegangan dua kelompok (fundamentalis dan leberalis) itu mengemuka. Bagi kaum fundamentalis, meski pintu ijtihad masih—dan akan terus—terbuka, tapi untuk saat ini tak seorang pun yang mampu memasukinya, mengingat hal itu perlu kwalitas keilmuan yang tinggi. Maksimal yang bisa dilakukan adalah, istinbat jama’i (penggalian hukum secara kolektif), seperti hasil munas Alim Ulama NU di Lampung beberapa tahun yang lalu. 

Beda halnya dengan kalangan liberalis, kelompok yang dipelopori oleh kaum intelektual muda ini justeru melihat bahwa upaya mengembangkan pesan al-Qur’an dalam konteks perubahan sosial dan budaya harus tetap dilakukan, agar al-Qur’an tetap dinilai universal dan fleksibel. Dan, dalam dinamika itu, kata Cak Nur, kita tak perlu takut salah, karena takut salah adalah kesalahan yang sangat fatal. Toh, lanjut mereka, hanya Nabi Muhammad saw. lah yang paling mengerti dan faham terhadap maksud dan tujuan al-Qur’an. Tak ada kebenaran tunggal dalam menafsiri ayat al-Qur’an selain beliau, tidak pula para sahabat Nabi, karena para sahabat juga manusia yang tidak ma’shum. Dan beliau tidak pernah menentukan siapakah yang berhak menafsiri al-Qur’an. Lebih ekstrim lagi, mereka tidak hanya membuka/memberi peluang kepada siapa pun untuk menafsiri al-Qur’an, bahkan mereka juga membatasi peran al-Qur’an (baca: Syariat Demoktarik, karya Muhammad Mahmoud Toha). Bagi mereka, ketika pesan-pesan al-Qur’an dan hadits sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman yang semakin maju, maka kita boleh tidak menggunakannya, berijtihad sendiri senyampang tidak bertentangan dengan prinsip keadilan dan demokrasi yang juga merupakan salah satu unsur terpenfing dalam ajaran Islam. 

Upaya mengembangkan nushush syariah dalam konteks perubahan sosial dan budaya adalah misi suci, dan itu perlu didukung. Hanya, misi suci harus ditempuh melalui cara dan metode yang suci pula, serta didukung oleh kwalitas keilmuan yang memadai. Itu prinsip. Kita tidak bisa menghalalkan berbagai macam cara untuk itu. Prinsip keadilan dan demokrasi tidak cukup untuk dijadikan modal menafsiri teks-teks al-Qur’an dan hadits sehingga adaptip dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Liberalisasi pemikiran semacam itu, justeru akan melahirkan produk hukum yang bertentangan dengan ajaran Islam sendiri, dan ini adalah wujud lain dari anarkhi intelektual. Sabda Nabi, “Barang siapa yang menafsiri al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri, maka carilah tempat untuknya di neraka”, na’udzubillah.

Satu hal yang sering dijadikan senjata oleh kelompok muda ini adalah Fikih Umar. Khalifah Rasulullah kedua ini, menurut mereka, ternyata sering mengeluarkan keputusan hukum yang tidak ada—atau bahkan bertentangan dengan—al-Qur’an dan hadits. Sehingga beliau sering kali mendapat kecaman dari sahabat yang lain, dan kemudian hasil ijtihadnya diterima sahabat yang lain. Salah satu contoh, kasus pencurian yang terjadi di masa keperintahannya. Beliau tidak memotong tangan sang pencuri, bahkan hanya memerintah agar mengembalikan harta curian tersebut dua kali lipat. Padahal dalam al-Qur’an telah termaktub, “Pencuri baik lelaki atau perempuan, maka potonglah tangannya”. Contoh lain adalah bahwa Umar ra. pernah tidak memberikan zakat kepada dua orang yahudi yang baru masuk Islam, padahal mereka termasuk salah satu dari delapan golongan yang berhak menerimanya (al-mu’allaf qulubuhum), serta masih banyak contoh yang lain. 

Ijtihad-ijtihad Umar bin Khathtab ra. (baca: Fikih Umar) inilah yang kemudian dijadikan tameng oleh kelompok leberalis bahwa sesekali boleh tidak mengikuti ketentuan al-Qur’an atau hadits yang bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan demokrasi (dalam persepsi otak mereka sendiri), seperti dalam masalah warisan, hukum pidana, dan bab suami-istri. Dalam tiga bab tersebut, kata mereka, ketentuan dalam nash al-Qur’an dan hadits sudah tidak relevan lagi dengan konteks budaya negara kita. Di sinilah kerancuannya, ketika emosi sudah mengalahkan logika maka anakhi intelektual akibatnya. 

Sayidina Umar bin Khathtab ra, seperti halnya sahabat Nabi yang lain, adalah orang yang mengaksikan langsung proses dan asbabunnuzul-nya ayat al-Qur’an. Jadi, merekalah umat Nabi Muhammad yang paling mengerti dan faham akan tujuan dan maksudnya. Namun demikian, para sahabat tetap kembali kepada al-Qur’an dan sunnah Nabi dalam setiap menghadapi problematika umat saat itu. Tak ada standart ganda. Kecuali jika sudah tidak ditemukan lagi dalam nash, baru kemudian mereka menggunakan akal (baca: ijtihad). Dan hal ini wajar buat para sahabat, mengingat mereka adalah ‘murid’ pertama dan berguru langsung kepada Nabi. Hanya orang syirik saja yang mungkin mengingkari kwalitas keilmuannya. 

Lantas, bagaimana dengan tuduhan bahwa ijtihad Umar sering tidak sesuai dengan nash-nash syara’?

Selasa, 19 Oktober 2010

Si Santri dan Si Kyai

Ada seorang santri suatu hari datang kepada kyai. Santri ini berpendidikan umum progresif. Sedangkan si kyai adalah seorang otodidak agama yang aktif. Si santri memahami Islam secara tekstual. Sedangkan si kyai sebaliknya, mencerna agama ini secara kontekstual. Si santri muda ini meletup-letup semangatnya. Sedangkan si kyai setengah baya ini yang tinggal di desa menonjol sikap tawadhu'-nya terutama terhadap ilmu.

Sekali waktu santri tersebut mengusulkan sebuah seminar ilmiah kepada sang kyai di pondoknya. Seraya mengapit sehelai stofmap berisi proposal ketik apik komputer, mahasiswa yang pernah mengaji pada kyai ini menyodorkan topik bahasan bertema Telaah Kritis Atas Hadits Bukhari.

"Saya yakin peminatnya pasti banyak, kyai. Sebab, ini khan memang lagi trend-nya!," ujar si santri berapi-api.

"Anak muda," sahut si kyai, "Tema itu terlalu sombong untuk diangkat. Apakah kita sudah mengaca diri, siapa sih kita ini, kok mentang-mentang mau mengkritik Bukhari."

Kemudian si kyai melanjutkan penuturannya, bahwa betapa Imam Bukhari (wafat tahun 256 H) memang sudah pernah dikritik oleh para ulama hadits sekaliber berat, seperti Darqutny (wafat tahun 385 H), Al-Ghassany (wafat tahun 365 H), dan pakar ilmu-ilmu hadits lainnya. Tiga abad kemudian Ibnu Shalah (wafat tahun 643 H) dan Imam Nawawi (wafat tahun 676 H) juga melakukan hal yang sama, yaitu mengkaji dan menguji kodefikasi karya Bukhari dan akhirnya mereka sepakat memutuskan bahwa Shahih Bukhari merupakan kitab paling otentik sesudah Al-Qur'an. Para ahli mengakui bahwa abad III dan VI adalah merupakan masa matang dan suburnya karya ilmiah, terutama di bidang studi hadits.

Si santri kemudian menyela :

"Tapi kyai, berdasarkan fakta, ada beberapa hadits di dalam Bukhari yang tidak sejalan dengan logika dan tak relevan dengan sejarah. Bahkan ada yang bertentangan dengan sains modern."

Si kyai pun lalu menjawab :

"Hadits-hadits riwayat bukhari itu sejalan dengan logika. Jika kamu tak paham, barangkali logikamu sendiri yang belum cukup peka untuk menangkapnya. Pikiran seperti itu mirip telaah para orientalis yang hanya berdasarkan prakonsepsi. Justru menurut saya, metodologi hadits yang dikembangkan Bukhari dalam seleksi mata rantai perawi yang begitu njlimet (kompleks) merupakan khazanah kita yang paling besar. Sesuatu yang (apalagi saat itu) jarang dikerjakan oleh ahli sejarah manapun dalam menelusuri sumber-sumber berita. Sebuah karya monumental yang tak tertandingi!."

Dengan agak menyesal, si santri muda itu berkata lagi :

"Lantas topik apa pula yang cocok untuk seminar, biar kelihatan wah begitu?."

Si kyai menyahut :

"Bikinlah seminar di dalam dirimu sendiri, dengan tema yang pas mungkin Sudah Sejauh Mana Kita Merealisasikan Sunnah Nabi Dalam Kehidupan Sehari-hari. Barangkali refleksi seperti ini akan lebih bermanfaat ketimbang kamu harus mengerjakan yang muluk-muluk, tak ketahuan juntrung faedahnya. Malahan dampaknya dapat diduga lebih dahulu, yaitu akan membuat orang awam jadi kian bingung."

Sadar disindir, si santri hanya tersenyum kecut. Mengakhiri nasehatnya, si kyai berkata, "Anak muda!, jadilah penyuluh tuntunan, jangan jadi tontonan." Si santri tersebut akhirnya kembali bermukim di desa dan menekuni kitab kuning.

[Disarikan dari Sorotan Cahaya Ilahi, M.Baharun, cetakan I, 1995, penerbit Pustaka Progressif, Surabaya]
                                                        Sumber : www.Almuhajir.net

Shalawat kedua

Syaikh yusuf bin Ismail an-Nabhani dengan mengutip as-Suja`i berkata: "Sa`id ibn 'Atharid meriwayatkan bahwa barangsiapa membaca shalawat ini tiga kali ketiga pagi menjelang dan pada waktu sore, maka dosa-dosanya akan dilenyapkan dan kesalahan-kesalahannya akan dihapus.  Dia akan selalu bahagia, doanya dikabulkan, angan-angannya tercapai dan akan dibantu dalam mengalahkan musuhnya,"

"Ya Allah, bershalawatlah untuk Muhammad di kalangan orang-orang terdahulu dan bershalawatlah untuk Muhammad di kalangan orang-orang kemudian. Ya Allah, bershalawatlah untuk Muhammad di kalangan para nabi dan bershalawatlah untuk Muhammad di kalangan para rasul, serta bershalawatlah untuk Muhammad di kalangan (makhlukMu) yang berada di tempat tertinggi     hingga hari pembalasan."


Disarikan dari Bershalawat untuk Mendapat keberkahan Hidup/Afdhal as-Shalawat `ala Sayyid as-Sadat, Syaikh Yusuf bin Ismail Nabhani

Shalawat yang Senilai dengan 100 Ribu Shalawat



Artinya :

Diriwayatkan bahwa Sulthon Mahmud AI Gornawiy, Beliau di awal pemerintahannya duduk setelah Sholat subuh sibuk membaca sholawat kepada Nabi Muhammad SAW sebanyak 300 ribu x (kali) sampai siang hari dan orang-orang (Rakyatnya) duduk di pintu, menunggu 'keluarnya (Shulton Mahmud) untuk menyelesaikan hajatnya setelah keadaan ini berlangsung lama, maka Beliau melihat Nabi SAW di dalam tidumya Nabi mengatakan kepadanya "Apa ini pemanjangan waktu sehingga rakyatmu telah menunggu keluarnya kamu"; maka Sulthon Mahmud menjawab saya duduk menghabiskan waktu lama karna saya bersholawat kepadamu dalam jumlah tertentu (300 ribu kali) dan saya tidak berdiri sebelum selesai. Maka Nabi Muhammad SAW mengatakan kepadanya "Ini menyusahkan Orang lemah (Rakyatmu) dan yang punya hajat"; akan tetapi saya (Nabi) akan mengajarkan kepadamu Sholawat yang ringkas, yang mana apabila kamu membacanya satu kali sebanding 100 ribu kali, jadi kamu tinggal membaca 3 x kali saja sudah sebanding 300 ribu kali,, setelah itu kamu keluar menemui rakyatmu untuk menyelesaikan urusan-urusan mereka, sehinggga kamu mendapat pahala Sholawat 300 ribu kali dan mendapat pahala memberi manfaat kepada Orang Muslimin, maka diapun (Sulthon Mahmud) mempelajari Sholawat itu dari Nabi Muhammad SAW lalu dia mengamalkannya secara rutin. Setelah itu Beliau melihat Nabi Muhammad SAW lagi yang kedua kalinya dan Nabi SAW mengatakan kepadanya "Amalan apa yang kamu amalkan sehingga kamu melelahkan Malaikat di dalam mencatat pahala amalanmu"; Maka beliau menjawab, Saya tidak mengamalkan sesuatu kecuali sholawat yang Kau ajarkan kepadaku.


Berikut dibawah ini adalah shalawat tersebut


Keterangan : Sumber ini didapat dad Kitab Al-Qirtos fi Manaqib Al Attas

Seharusnya Merekalah yang Kita Jadikan Idola

Ada seorang ulama yang berjalan kaki sejauh 30 km dari kotanya menuju kota lain untuk mencari fakir miskin, setiap fakir miskin yang beliau temui ia berikan uang dan ketika seluruh uangnya habis untuk beliau sedekahkan, barulah beliau pulang ke rumahnya dan itu beliau secara istiqamah setiap hari Jum`at sampai beliau meninggal, terus bagaimana dengan kita? yang ketika seorang peminta-minta datang ke rumah kita (tanpa kita perlu bersusah payah mencarinya), kita katakan besok, besok dan tanpa malu-malu di dalam setiap munajat kita selalu berdoa Ya Allah tambahkan dan luaskanlah rezkiku. dan Allah juga akan mengatakan besok,besok (ALANGKAH BAIKNYA KALAU ORANG SEPERTI BELIAU INI KITA JADIKAN IDOLA, SEHINGGA MUNCULLAH SEMANGAT UNTUK BERSEDEKAH, DAN KALAU SELURUH RAKYAT INDONESIA MEMPUNYAI IDOLA SEPERTI INI, MAKA YANG NAMANYA PEMINTA MINTA SUDAH TIDAK ADA DI BUMI INDONESIA INI)

Ada seorang lelaki yang datang dari madinah menuju damsyik menemui Abu Darda hanya untuk mendengarkan satu hadits. Lelaki itu berkata, “Wahai Abu darda, aku datang dari Madinah untuk mempelajari satu hadits darimu, karena aku diberitahu bahwa engkau adalah orang yang mendengar langsung dari Rasulullah SAW…”
Abu Darda berkata, “Apakah kamu mempunyai tujuan lain ke Damsyik?”
Orang itu menjawab, “tidak”

Abu Darda bertanya lagi,”Apakah kamu yakin bahwa kamu tidak mempunyai tujuan lain selain dari itu untuk pergi ke Damsyik?” 

Orang itu menjawab, “Aku datang ke tempat ini semata-mata untuk mempelajari hadits ini.”

Abu Darda berkata, “Dengarlah, aku telah mendengar dari Rasulullah bahwa beliau bersabda, ‘Allah akan memudahkan jalan ke surga kepada seseorang yang berjalan beberapa jauh untuk mencari ilmu pengetahuan. Para malaikat pun akan menghamparkan sayap-sayap mereka di bawah kakinya dan semua mahluk yang berada di langit dan di bumi akan mendoakan agar di memperoleh ampunan. Kelebihan seseorang yang berpengetahuan daripada seorang yang hanya beribadat adalah seperti kelebihan bulan dari bintang-bintang. Para ulama adalah sebagai pewaris rasulullah dan warisan Rasulullah bukanlah Dinar (uang emas) ataupun Dirham (uang perak) tetapi ilmu pengetahuan. Barang siapa mengambilnya, berarti ia memperoleh kekayaan yang tidak ternilai banyaknya.” (Ibnu Majah)

Sya`bi rah.a adalah seorang muhaddits yang terkenal dari kufah. Suatu ketika beliau pernah meriwayatkan satu hadits kepada salah seorang muridnya dan berkata, “Sekarang dengan duduk di tempat tinggal kalian sendiri, kalian dapat mendengarkan dan mempelajari satu hadits. Padahal dahulu untuk mempelajarinya dari segenap pelosok dunia mereka terpaksa pergi ke Madinah, karena ketika itu Madinah adalah satu-satunya tempat untuk belajar.”

Sa`id bin al Musayyab adalah Tabiin yang termahsyur, ia berkata, “Untuk mempelajari satu hadits saja, terpaksa aku mengembara dengan berjalan kaki selama beberapa hari lamanya”. Imam Abdullah Bin Alwi Al Haddad mengatakan “Tidaklah ilmu yang aku miliki ini datang begitu saja, tetapi aku menghadiri majelis ulama dimana dalam sehari tidak kurang dari 16 majelis ilmu aku datangi”. Lihatlah Imam Abdullah Bin Alwi Al Haddad seorang ulama besar yang mana kedua mata beliau buta menghadiri 16 majelis ilmu setiap harinya, terus bagaimana dengan kita? Yang di daerah kita mungkin ada majelis ilmu (apalagi kalau kita mempunyai kendaraan sendiri), kita masih malas mengunjunginya?. (ALANGKAH BAIKNYA KALAU ORANG SEPERTI MEREKA KITA JADIKAN IDOLA, SEHINGGA MUNCULLAH SEMANGAT UNTUK MENUNTUT ILMU, DAN KALAU SELURUH MUSLIMIN INDONESIA MEMPUNYAI IDOLA SEPERTI MEREKA, MAKA INSYA ALLAH KITA MEMPOREH PEMAHAMAN KEAGAMAN YANG CUKUP SEHINGGA YANG NAMANYA ALIRAN SESAT MUNGKIN SUDAH TIDAK ADALAGI DI BUMI INDONESIA INI)

Marilah saudaraku kita bersama-sama mengidolakan Sayyidina Muhammad Saw, para sahabat beliau, para ulama dan shalihin, bukan artis, artis itu belum jelas, apakah wajah mereka sering terkena air wudhu atau tidak, apakah mereka sering bersujud kepada Allah atau tidak. Salah satu cara agar kita mengidolakan Sayyidina Muhammad Saw, para sahabat beliau, para ulama dan shalihin adalah dengan sering membaca biografi mereka.

Barang siapa memperhatikan sejarah hidup para Salaf (orang-orang saleh terdahulu), maka dia akan menyadari kekurangan pada dirinya serta akan mengetahui betapa rendahnya kedudukan dirinya di Sisi Allah dibandingkan pangkat dan derajat mereka”
( Asy-Syaikh Abu Hamdun Al-Qashar An-Naisaburi)

Senin, 18 Oktober 2010

Merasa rugi

Sudah tiga tahun kubiarkan begitu saja radioku yang rusak berada di dalam kamarku, radio yang dulunya kugunakan untuk mendengarkan tausiyahnya Aa Gym , radio yang dulunya kugunakan untuk mendengarkan esainya Asdar Muis RMS dan radio yang dulunya kugunakan untuk mendengarkan tausiyahnya ustad Das`ad Latief menjelang adzan Maghrib.  Radio itu kubiarkan begitu saja tanpa ada perasaan rugi sama sekali. Rugi tidak lagi mendengarkan Tausiahnya Aa gym dan Das`ad Latief, rugi tidak lagi mendengarkan esainya Asdar Muis RMS.  

Suatu waktu aku membaca majalah Cahaya Sufi (www.sufinews.com), seseorang yang bernama Prie GS begitu mengagumkanku.  Seorang budayawan yang berbicara mengenai dunia sufi dengan ulasan yang sangat sufistik.  Menurutku,  kalau yang berbicara para Ulama maupun Mursyid Tarekat itu sih biasa, tapi kalau seorang budayawan, itu baru benar-benar mengagumkan.  

Hari demi hari terus kulalui, perasaan kagum terhadap sosok yang bernama Prie GS masih terpatri di dalam dadaku, suatu hari kulihat beliau ada di Indosiar dalam sebuah acara pukul 6 pagi WITA (saya lupa nama acaranya), beliau membawakan refleksi yang makin menambah kekagumanku padanya, sayang acara itu hanya bertahan sekitar 1 atau 2 bulan, itupun tiap hari selasa dan dibawakan oleh beberapa orang, hari ini mas Prie bawakan, besok yang lainnya.  

Rasa kagum sekaligus penasaran terhadap mas Prie GS kutindak lanjuti dengan berselancar di dunia maya, apalagi saudaraku mengatakan bahwa beliaulah yang membawakan ”sketsa indonesia” di Smart FM, sungguh semakin menambah rasa kagumku. Menggunakan paman Google kuketik Prie GS+mp3 dan berbagai variasi keyword lainnya dengan harapan mendapatkan web/blog pribadinya maupun koleksi file mp3 di Smart FM, namun hasilnya nihil, tak kutemukan web/blog pribadinya maupun koleksi file mp3nya(kejadian terjadi sekitar 1-2 tahun lalu).  

Beberapa minggu yang lalu kubuka website andrie wongso (yang juga didorong oleh rasa kagumku terhadap beliau), kutemai tulisan-tulisan mas Prie di sana, maka kugunakan lagi paman google, kuketik prie GS, setelah kutekan enter, Alhamdulillah disana muncul alamat website dan blognya mas Prie, kujelajahi website dan blognya, beberapa tulisan beliau saya copy, disana terpampang pula file audio dengan format mp3, kugunakan senjata andalanku untuk mendownloadnya, Internet Download Manager (senjata andalanku yang sudah 2-3 tahun menghiasi hari-hariku di dunia maya, menggatikan Internet Download Accelerator maupun Flashget).  Setelah semuanya beres, kuhentikan koneksi internetku dan menuju ke kasir membayar biaya internetku.

Ada perasaan kagum, menggelitik dan berbagai perasaan lainnya yang sulit kubahasakan setelah membaca artikel maupun mendengarkan file audionya, kesimpulannya beliau adalah penulis yang hebat, tiba-tiba muncul rasa merugi dalam diriku, selama 3 tahun radioku rusak selama itu pula aku tidak mendengarkan mas Prie di Smart FM dan perasaan merugi itu memuncak tadi pagi, ketika kubaca buku ”Aa Gym dan Fenomenia Daarut Tauhid” Aa Gym mengatakan ”...........jangan takut menghadapi masalah, tetapi takutlah tidak mendapat pertolongan Allah dalam menghadapinya” aku seperti tersengat, sungguh kalimat ini menembus relung hatiku yang paling dalam.  Bagiku Aa gym adalah sosok yang luar biasa, dengan bahasa sederhana namun ia dapat menyentuh hati para pendengarnya (begitu juga ceramah Habib Munzir al Musawa, Buya Hamka dan Ustad Yusuf Mansur), sungguh sosok yang langka untuk ukuran zaman sekarang ini, zaman dimana makin ramainya pasar kemunafikan dan mall kedustaan. Aku merasa seperti kehilangan Aa gym, selama tiga tahun radioku rusak, selama itu pula aku aku tidak mendengarkan tausiyah beliau. Sungguh sebuah kerugian yang besar bagiku.  Hari ini aku bertekad memperbaiki radioku, agar tausiyah Aa gym yang menembus kedalaman jiwaku kembali terdengar, agar refleksinya mas Prie GS yang super renyah, kritis dan menggelitik yang dapat menampar kesadaran terdalam dari setiap manusia yang mengaku masih punya akal dan perasaan kembali mengalun di rumahku.    

Tamalanrea 2 Juni 2008                                                                                                         

Mutiara di Hati Penjual Dawet

Seorang Kiai ternama, sebut saja namanya Kiai Imron, akan kedatangan beberapa pejabat dari Jakarta. Karena tamu-tamu itu di anggap penting, tentu saja Kiai Imron mempersiapkan diri sedemikian rupa. Rumahnya pun dibersihkan dan dirapikan, untuk mengantisipasi jika para tamu itu menginap. Ia juga mempersiapkan jamuan khusus untuk para tamunya itu. Nah, saat mempersiapkan untuk jamuan inilah terbersit dalam pikiran Kiai Imron untuk menyediakan es dawet (es cendol) sebagai minuman special buat para tamunya. Ia yakin para pejabat itu akan menyukai minuman khas daerah itu, karena ia yakin minuman itu tak akan ditemukan di Jakarta. Kalau pun di sana sudah ada, pasti rasanya tidak seenak dawet asli.

Maka Kiai Imron pun menemui Pak Juki, salah satu penjual dawet yang biasa mangkal di dekat alun-alun kota. Dawet buatannya memang terkenal paling enak di kawasan ini.
“Boleh saya beli dawetnya, Pak?”, ujar Kiai Imron.
“Ya tentu saja boleh, Pak Kiai. Masak saya mau bilang nggak boleh, itu kan namanya menolak rejeki,” kata Pak Juki tersenyum.
“Di minum disini atau di bungkus, Pak Kiai?”
“Di bungkus saja.”
“Berapa, Pak Kiai?”
“Semuanya.”
“Lho, maksud Pak Yai?” Pak Juki menatap wajah Pak Kiai, tak paham.
“Ya semuanya. Semua dawet yang sampean punya.”

Untuk beberapa saat penjual dawet  itu tercenung, menatap wajah Kiai Imron dalam-dalam. Tampaknya ada yang berkecamuk dalam hatinya.

“Maaf, Pak Kiai. Sepertinya tidak bisa.” Pak Juki menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Lho, kenapa? Bukankah seharusnya bapak senang karena masih pagi begini dawet bapak sudah habis. Bapak bisa langsung pulang dan beristirahat di rumah tanpa harus capek-capek bekerja.” Kali ini Kiai Imron yang terheran-heran.
“Memang benar, Pak Kiai. Tapi maaf, sepertinya saya tidak menuruti kehendak Kiai.”

Kiai Imron semakin heran dengan keteguhan penjual dawet pinggir jalan yang biasa mangkal di pagi hari hingga sore itu.
“Tolonglah. Hari ini saya akan kedatangan tamu. Saya ingin membahagiakan tamu saya itu dengan sajian dawet bapak yang terkenal enak,” ujar Kiai Imron merayu.

Pak Juki tetap menggeleng-gelengkan kepala, sambil sesekali melayani pembeli yang memesan untuk diminum di tempat.

Akhirnya Kiai Imron tak tahan untuk tahu alasan Pak Juki tak berkenan melepas semua dagangannya sekaligus.
“Maaf Pak Kiai. Alhamdullillah setiap hari yang datang untuk menikmati dawet saya cukup banyak, bahkan saya punya banyak pelanggan tetap. Hampir setiap hari mereka datang kesini. Nah, jika hari ini saya tutup lebih pagi karena dawet saya telah habis di borong Pak Kiai, Pak Kiai bisa perkirakan sendiri berapa orang yang akan kecewa gara-gara saya. Tentu saja sepagi ini saya telah menyakiti hati banyak orang.”

Pak Yai termangu-mangu mendengarnya.
“Memang saya untung banyak jika dawet ini cepat habis, tapi bukan cuma keuntungan yang saya kejar. Saya hanya ingin kehadiran saya memberikan kebahagiaan untuk orang lain, meskipun hanya dengan membuatkan dawet buat mereka, yang kata mereka cukup enak.”

Kiai Imron tak habis pikir. Pagi ini ia mendapat ilmu yang cukup berharga dari seorang penjaul dawet. Ilmu yang tidak didapatkannya dalam kajian-kajian kitab-kitab di pesantrennya. Ternyata, meski hanya sebagai penjual dawet, terdapat mutiara di hatinya. Kiai Imron pun teringat akan adagium klasik yang menyatakan, lihatlah apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang berbicara.

Usut punya usut, ternyata penjual dawet itu mengamalkan shalawat dalam kehidupan sehari-harinya.*

Sumber  :  http://alhidayahkroya.blogspot.com/

Jumat, 15 Oktober 2010

Catatan menjelang Piala Eropa 2008

Tiga hari lagi perhelatan akbar Piala Eropa akan di gelar, para bola mania sudah tidak sabar lagi melihat penampilan tim kesayangan maupun bintang idolanya.  Italia, Jerman, Belanda, Spanyol dan Perancis merupakan tim unggulan di ajang terbesar di daratan Eropa itu (saya jadi teringat seseorang yang lebih  mendukung tim-tim dari Amerika Latin dibanding dari Eropa ketika Piala Dunia 1998 lalu, katanya bangsa Eropa adalah bangsa penjajah).   

Diantara bola mania itu ada yang rela begadang demi melihat aksi bintang pujaanya maupun melihat tim kesayangannya.  Bagi mereka yang tidak kuat begadang ya tinggal atur jam weker atau alarm di Handpone, mudah kan.    Begitulah kesungguhan para bola mania demi tim atau bintang idolanya, ada semacam kesedihan  ketika penampilan mereka terlewatkan. 

Adakah diantara kita yang menyetel jam weker untuk berduaan denganNya? 
Adakah diantara kita yang menyetel  alarm di Handpone untuk bermesraan dengan Sang Maha Raja Tunggal di langit dan bumi?
Adakah diantara kita yang sedih, ketika malam-malam kita terlewatkan tanpaNya?

Fudhail ibn Iyadh berkata, “Aku telah mendengar kabar bahwa saat malam menjelang, Allah Ta`ala berfirman,”Mana orang-orang yang saat siang mengaku cinta kepadaKu.  Tidakkah setiap pecinta suka menyendiri bersama kekasihnya.  Inilah Aku, saat ini Aku mendatangi para kekasih-Ku, mereka berbincang dengan-Ku dalam hadir, dan mereka berkata-kata kepada-Ku dalam penyaksian.  Dan kelak, akan Kuperlihatkan sesuatu yang menyenagkan mata mereka di surga.”

Kita sering mengucapkan ALLAHU AKBAR (Allah Maha Besar), tetapi yang besar di hati kita adalah  harta, jabatan, wanita dan tentu saja tim maupun bintang idola kita yang sebentar lagi akan berlaga di Piala Eropa.
TANYA KENAPA……… hmmmmm….. KENAPA TANYA..??

Sabtu, 09 Oktober 2010

Nasehat Umar bin Abdul Aziz

"Sesuatu yang banyak di dunia ini sebenarnya sedikit, yang terhormat sebenarnya hina. yang kaya sebenarnya miskin, yang muda akan segera tua dan yang hidup akan segera mati. Bila kalian bisa berpaling darinya (dunia), lakukanlah secepatnya. Janganlah kalian tertipu melihat tampilannya, karena sudah banyak orang yang tertipu. Selain itu, janganlah kalian termasuk salah seorang di antara mereka."

Buang Air

Ini merupakan percakapan antara dokter (dr. Noeno) dengan seoarang pasien yang kena penyakit diare (Mawardi)

dr. Noeno        :  Sakit apa…?
Mawardi          : Anu dok,…mual-mual dan muntah-muntah
dr. Noeno        : Buang air besarnya bagaimana….?
Mawardi          : Seperti biasa dok, jongkok…
dr. Noeno        : ???


Sumber : Majalah SINOVIA # Edisi 32 # Mei-Juni 2008 (www.sinoviaonline.net)