Rabu, 29 Desember 2010

Membedah Kedok Hadits Sekularisme

oleh : A. Dairobi Naji

Anas ra bercerita: Rasulullah pernah lewat di antara orang-orang yang sedang menyerbukkan kurma. Beliau bersabda: “Jika kalian tidak melakukan hal itu, niscaya baik”. Kemudian keluarlah buah-buah kurma yang tidak baik. Suatu ketika Rasulullah kembali lewat di antara mereka. “Ada apa dengan kurma kalian,” tanya beliau. “Engkau mengatakan begini dan begini,” jawab mereka. “Antum a’lam bi amri dunyakum (Kalian lebih tahu dengan urusan dunia kalian),” sabda Rasulullah. (HR. Muslim).


Tidak diketahui dengan pasti sejak kapan hadits tersebut muncul sebagai wacana yang teramat penting. Sabda beliau ini berimplika­si fatal jika dipahami dengan mentah-mentah. Mungkin saat beliau bersabda, tidak ada sahabat yang mempermasalahkan. Namun, sampai saat ini hadits tersebut menyisakan tanda tanya besar tentang sikap Islam terhadap urusan-urusan duniawi.

Bisa jadi, hadits ini diartikan sebagai pembenaran Rasulullah bahwa urusan dunia sepenuhnya diatur menurut selera masing-masing. Agama tidak turut campur dalam masalah-masalah itu. Pemahaman semacam ini adalah sekularisme tulen. Kalau begitu, apa Rasulullah mengakui sekularisme?

Dalam akselerasi pemikiran, kita bisa menemukan dua arah tinjauan dalam hadits ini. Tinjauan dalam wilayah  teologi (akidah) dan wilayah ideologi (baca: pijakan dasar kehidupan).

Wilayah Teologis

Cuplikan kisah di atas menggambarkan ketidaktepatan sabda Rasu­lullah dengan kenyataan. Beliau mengatakan, “Jika kalian tidak melakukan hal itu (penyerbukan), niscaya baik”. Nyatanya, setelah mereka meninggalkan penyerbukan itu, keluarlah buah kurma jelek, kering dan jatuh. Apakah Rasulullah keliru?

Inilah yang menyebabkan hadits di atas terbawa ke dalam perdeba­tan di wilayah akidah. “Ada kelompok yang menggunakan riwayat ini sebagai dalil bahwa Rasulullah tidak ma’shum (terjaga dari keke­liruan) dalam urusan-urusan dunia,” tulis an-Najdi dalam Muskilat al-Ahadits.

Tak pelak, terjadi beberapa penafsiran mengenai hal ini. Soalnya, jika Rasulullah tidak ma’shum, berarti beliau bisa bohong dalam penyampaiannya, padahal seperti yang telah masyhur dalam akidah Ahlussunnah, bahwa berbohong merupakan hal yang mustahil bagi utusan Allah.

Syekh Ibrahim al-Baijuri, teolog terkemuka Ahlussunnah, menolak dengan tegas pendapat yang mengatakan bahwa Rasulullah dalam hal ini tidak ma’shum (keliru). Menurutnya, apa yang telah diucapkan beliau dalam hadits di atas adalah harapan (insya’). Logikanya, bagaimanapun harapan tidak bisa divonis benar atau keliru. Rasu­lullah berharap kurma itu baik. Kalaupun harapan itu tidak menja­di kenyataan, tidak bisa dikatakan beliau keliru, tidak ma’shum. (Jauharah at-Tauhid).

Dalam pandangan al-Qurthubi, Rasulullah tidak berkata keliru dalam hal tersebut. Sebab, beliau bukan seorang yang menekuni pertanian, sehingga dalam menyikapi penyerbukan itu, Rasulullah berpedoman kepada kaidah umum bahwa tidak ada yang bisa men-ta’tsir (memberi pengaruh) kecuali Allah, seperti yang tertera dalam riwayat Thalhah, Rasulullah bersabda: “Menurut dugaanku, hal itu (penyerbukan) tidak berguna apa-apa.

Wilayah Ideologis

“Hadits ini betul-betul rancu,” komentar an-Najdi. Sebab, seperti yang ia tuturkan dalam Muskilat al-Ahadits an-Nabawiyah, urusan dunia itu mencakup mu’amalat, tindak kriminal, peperangan, medis dan berita tentang umat masa silam dan yang akan datang. Bisakah Rasulullah dikatakan berbohong dalam hal-hal tersebut, sehingga tidak wajib diikuti dan dibenarkan? Pemahaman semacam ini jelas sudah keluar dari agama.

Lantas, bagaimana semestinya kita menafsiri hadits ini? Yang jelas, hadits antum a’lam bi amri dunyakum bukan pembenaran Rasulullah terhadap pemilahan urusan dunia dan agama. Selain terkait dengan asbabul wurud-nya, terlalu berani jika hadits ini digunakan untuk merevisi ketentuan-ketentuan Islam yang berkaitan dengan urusan duniawi. Dalam hal ini, diperlukan pemahaman secara proporsional. Sangat naif, jika hadits ini digunakan sebagai dalil untuk mengabaikan hadits-hadits lain yang berbicara tentang urusan duniawi. Apakah itu tidak mirip —kalau tidak boleh dika­takan sama— dengan sikap orang-orang kafir terhadap al-Qur’an, mengambil yang sesuai dengan selera dan menolak ayat yang tidak mereka sukai?

Hadits ini sama sekali bukan pembenaran terhadap sekularisme. Pemahaman bahwa hadits ini sebagai penyerahan urusan dunia kepada masing-masing individu bermula dari pemahaman yang terpotong. Memahami keseluruhan hadits tersebut hanya dari potongan kalimat antum a’lam bi amri dunyakum merupakan pelanggaran terhadap etika berpikir. Tidak etis, jika kita memahami pernyataan seseorang, apalagi sabda Nabi, tidak dari konteksnya. Soalnya, konteks merupakan qarinah yang menuntun kepada apa sebenarnya yang dimak­sudkan oleh qail-nya.

Melihat konteks kalimat, posisi antum a’lam bi amri dunyakum dalam hadits tersebut bukan sebagai tasyri’, tapi i‘tidzar (dalih) Rasulullah atas ketidaksesuaian pandangan beliau dengan kenyataan. Indikasi i’tidzar itu juga didukung oleh riwayat-riwayat lain.

Diriwayatkan oleh Thalhah dari ayahnya: “Bersama Rasulullah aku lewat di antara orang-orang yang sedang memanjat pohon kurma. “Apa yang mereka lakukan?” tanya Rasul. “Menyerbukkan kurma,” jawab sahabat. Rasulullah bersabda: “Menurut dugaanku, itu tidak memberi pengaruh apa-apa”. Sahabat memberitahukan sabda Rasul tersebut kepada para pemanjat. Mereka meninggalkan pekerjaan itu. Lalu sahabat memberitahukan hal tersebut kepada Rasul. Rasulullah bersabda: “Jika hal itu berguna, maka lakukanlah. Aku hanya berpraduga. Jangan kau memegang pradugaku, tapi jika aku menyam­paikan sesuatu dari Allah, maka ambillah. Sesungguhnya aku takkan berdusta atas Allah.” (HR. Muslim)

Riwayat ‘Ikrimah, dalam hal ini Rasulullah bersabda: “Aku ini seorang manusia. Jika aku memerintahkan urusan agama kepada kalian, maka kerjakanlah. Bila aku memerintahkan sesuatu dari pendapatku, maka aku ini adalah manusia.”

Dalam Ikmal al-Mu’allim, al-Ubayy mengemukakan bahwa sabda Rasu­lullah dalam menanggapi ketidaksesuaian pendapat beliau dengan kenyataan ini adalah murni sebagai i’tidzar. Beliau mengungkapkan i’tidzar itu karena khawatir terjadi salah persepsi dari orang-orang yang berpikir dangkal bahwa dalam hal ini beliau berbohong. “Kalau tidak karena kekhawatiran itu, tidak perlu beliau mengung­kapkan alasan-alasan tersebut,” kata al-Ubayy. Soalnya, dalam hal ini beliau bukan memberitahu, tapi hanya sekedar mengungkapkan dugaan beliau tentang hal tersebut.

Nah, hadits Antum a’lam bi amri dunyakum, menurut al-Ubayy, merupakan puncak dari i’tidzar beliau yang berupa dugaan (dhann), pandangan (ra’yu) ataupun kalimat “Aku adalah manusia”. (Ikmal Ikmal al-Mu’allimin, 8:111-114)

Abdullah an-Najdi menolak pemahaman sekularistik terhadap hadits riwayat Anas tersebut dengan klasifikasi umur ad-dunya. Menurut­nya sabda Rasulullah yang menyangkut urusan dunia ada dua macam. Pertama, sabda beliau yang didasarkan pada wahyu dari Allah. Hal ini tidak bisa diganggu gugat, ma’shum dan tak mungkin keliru. Kedua, sabda beliau yang merupakan hasil pemikiran beliau sen­diri. Yang kedua ini dimungkinkan terjadi keliru.

Dalam klasifikasi itu, an-Najdi memberi catatan penting bahwa hal-hal yang sudah tegas dikemukakan Rasul, tidak pernah diralat sampai beliau wafat, tidak mungkin keluar dari pemikiran dan dugaan beliau sendiri. Sebab, Allah berfirman: “Sesungguhnya dugaan itu tidak berguna sedikit pun untuk mencapai kebenaran” (QS. Yunus:36). Semua yang beliau sabdakan dengan mantap adalah berdasarkan wahyu dari Allah SWT.

Dalam penafsiran lain, Imam an-Nawawi mengkhususkan hadits ini hanya dalam urusan duniawi dan mata pencaharian, sebagaimana yang tertera dalam teksnya. Tapi, urusan duniawi dimaksud, hanya berkisar hal-hal yang disabdakan beliau tidak dalam konteks tayri’ (menjadikan peraturan). Sedang ijtihad beliau mengenai urusan duniawi dalam konteks tasyri’, wajib dijadikan sebagai pedoman. Sedang dalam pandangan Ibnu Taimiyah, semua Qaul ar-Rasul adalah syari’at. Dalam hadits penyerbukan kurma ini Rasu­lullah tidak melarang untuk melakukan penyerbukan. Mereka salah paham bahwa Rasulullah melarang mereka melakukan penyerbukan.

Al-Hasil, semuanya sepakat bahwa hadits ini tidak bisa dipahami hanya pada potongan kalimat antum a’lam bi amri dun’yakum. Tapi, harus dipahami sesuai konteks kalimat. Baik, secara lafdhiyah  maupun haliyah, terdapat qarinah yang mengindikasikan bahwa hadits ini tidak bisa dijadikan dalil pemasrahan urusan dunia kepada masing-masing orang.


Sumber  :  www.sidogiri.net

Penyakit suka bicara

Kalam Al-Imam Al-Hafidz Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad
Berkata sebagian ulama terdahulu,
“Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menginginkan kebaikan bagi seseorang, maka dibukakan baginya amalan, dan ditutup baginya pintu perdebatan. Dan jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menginginkan keburukan bagi seseorang, maka ditutup baginya amalan, dan dibukakan baginya pintu perdebatan.”
Sering pula Imam Malik ra mencela seseorang yang memperbanyak omongan dan mudah berfatwa. Beliau ra pernah berkata, “Seseorang diantara mereka berbicara bagaikan unta. Ia gampang menyatakan, ‘Hal ini begini dan hal itu begitu.’ “
Beliau ra juga berkata, “Berbantah-bantahan dalam masalah ilmu dapat mengeraskan hati dan membuahkan kebencian.” Bila ditanyakan kepada beliau tentang suatu masalah, beliau sering menjawab, “Aku tidak tahu.” Demikian juga Imam Ahmad ra, beliau melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Imam Malik ra.
Dan telah diriwayatkan adanya larangan memperbanyak pertanyaan dan mereka-reka persoalan, serta menanyakan sesuatu yang belum terjadi, yang bila hal tersebut ditelusuri, maka akan jadi berkepanjangan. Seiring dengan apa yang telah disebutkan diatas, sesungguhnya pada perkataan ulama terdahulu dan para imam, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Ishaq dan lain-lain, terdapat penegasan terhadap sumber hukum dan dasar-dasar hukum dalam perkataan yang ringkas dan dapat dipahami maksudnya tanpa harus dijelaskan panjang lebar. Dan bahkan perkataan yang panjang lebar dari orang-orang yang mudah bicara dengan akalnya itu, tidak mengandung kebenaran seperti yang terdapat pada perkataan para ulama terdahulu dan para imam meskipun perkataan para ulama dan imam itu ringkas.
Ulama terdahulu yang lebih suka berdiam diri dan tidak mengubris perselisihan dan perdebatan, bukan berarti mereka bodoh dan tidak mampu dalam hal itu, tetapi mereka sengaja berdiam diri karena kapasitas ilmu yang mereka miliki, serta rasa takut mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan orang-orang yang datang sesudahnya, mereka lebih suka mencari-cari persoalan, bukan karena mereka memiliki kelebihan ilmu dibandingkan orang lain, akan tetapi mereka melakukan hal itu karena rasa senang mereka terhadap bicara dan kurangnya rasa wara’. Seperti yang telah dikatakan oleh Al-Imam Al-Hasan ketika beliau mendengar orang-orang yang suka berselisih,
“Mereka adalah kaum yang sudah bosan beribadah dan menganggap remeh suatu perkataan, serta telah berkurangnya rasa wara’ mereka sehingga mereka tidak segan-segan untuk berbicara.”
[Disarikan dari Fadhl Al-Ilm As-Salaf 'ala Al-Khalaf  Al-Hafidz Ibn Rajab Al-Hanbaly]