Minggu, 26 September 2010

Mempertanyakan Otoritas Akal

Manusia merupakan makhluk yang paling sempurna. Dia dikaruniai sebuah media untuk mengenali segala sesuatu. Media untuk menampung sekian banyak memori yang ditangkap. Sarana untuk menguak rahasia ciptaan Tuhan di muka bumi. Sebuah kemampuan kognitif yang membedakannya dari makhluk-makhluk Tuhan yang lain; Akal.
Begitu pentingnya akal, sampai-sampai al-Qur'an menyebutkannya dengan berulang-ulang. Berapa kali al-Qur'an menyinggung kalimat, Afalaa ta'qiluun (apakah kamu tidak berpikir?), fa'tabiruu ya ulil albab (hendaklah berpikir wahai orang-orang yang berakal!), Aku turunkan kitab pada kalian, mengenai diri kalian. Apakah kalian tidak berpikir?" (Qs. al-Anbiya':10).
Untuk menguak kandungan makna ayat-ayat "misterius" dibutuhkan sebuah akal yang benar-benar mumpuni. Wama ya'lamu ta'wilahu illa Allah wa al-rasikhuun fi al-ilm (Qs. al-Imran:7). Kalimat al-Rasikhuun berarti orang yang mempunyai pengetahuan yang luas (intelek). Gelar ini hanya bisa diperoleh oleh orang yang berakal cerdas dan tanggap.
Wahyu Allah atau al-Qur'an menekankan perhatiannya pada dasar-dasar agama. Al-Qur'an kemudian menyerahkan tugas untuk menerjemahkannya ke dalam bentuk perintah dan petunjuk dalam kehidupan sehari-hari kepada manusia. Dia dituntut untuk menjaga dan mengembangkan hukum yang digali sesuai dengan konteks zaman. Dengan kemampuan yang dimiliki mereka menentukan sebuah hukum dari al-Qur'an. Itulah yang kemudian menyebabkan adanya istinbat, ijtihad, dan perselisihan pendapat antarcendikiawan Islam.

Demikian pula dalam sebuah hadits, "Berpikir sekejap saja lebih baik dari pada ibadah selama 70 tahun". Dengan akal akan dapat menguak rahasia ciptaan Allah. Dengan demikian dampak positifnya adalah bagi keimanan. Tak heran jika kemudian para intelektual Islam mengatakan bahwa akal tidak bisa dipisahkan dari Islam. Pada akhirnya mereka mengklaim Islam sebagai agama yang selalu menggunakan akal. Al-Islam diin al-'aql.
Di sisi lain, dalam sebuah literatur keislaman disebutkan bahwa Sayyidina 'Ali r.a pernah bersabda "Bila akal menjadi pijakan agama, maka bagian bawah sepatu (Khuf) lebih pantas untuk dibasuh, daripada bagian atasnya" (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). Hadits ini diperkuat dengan statemen Imam al-Syafi'i tentang dekadensi umat Islam "Manusia tidak akan bodoh dan tidak akan berbeda pendapat kecuali ketika manusia meninggalkan lisan Arab (Islam, al-Qur'an atau wahyu) dan cenderung pada lisan Aristoteles (filsafat)".
Dalam redaksi di atas Imam Syafi'i memberi gambaran mengenai konsekuensi dari dua buah ajaran. Ajaran pertama lebih cenderung untuk membawa manusia pada sebuah solidaritas keagamaan yang cukup kuat; al-Qur'an yang memakai bahasa Arab. Ajaran kedua adalah ajaran yang cenderung berselisih pendapat antara satu dengan yang lain, filsafat.
Sejarah mencatat bahwa perbedaan pendapat dalam filsafat telah menjadi tradisi. Aristoteles membantah dan menghujat Plato, gurunya sendiri. Ibnu Sina tidak sepakat dengan Aristoteles dan demikian seterusnya (lihat: Tahafut al-Falasifah, Abu Hamid al-Ghazali). Penyebab utama dari terjadinya selisih pendapat tersebut adalah karena ukuran (mizan al-fikri) yang dipakai ilmu filsafat adalah akal, sedangkan kemampuan akal per-indivudu manusia berbeda dalam menangkap dan menginterpretasi sebuah konteks sebab berbedanya kecerdasan dan ketajamannya (lihat: al-Islam wa al-Aql, Abd. Halim Mahmud).
Maka dalam banyak ritual Islam seperti sujud, wudlu', mandi besar dan kewajiban shalat akal seseorang tidak mampu untuk merasionalkannya: ada batas-batas tertentu yang tidak bisa dijangkaunya; ada banyak tempat yang tidak bisa dijamah oleh kemampuan kognitif seseorang.

Di samping kadangkala akal tidak bisa memuaskan hasrat seseorang. Al-Ghazali justru terjebak dalam kebingungan setelah dia memasuki dunia filsafat. Pengembaraan rohani yang dialami al-Ghazali mencapai titik klimaksnya setelah beliau tahu inkonsistensi akal. Beliau menggambarkannya dalam kitab Munqidz min al-Dhalal: jika kita melihat benda dari jauh, maka akal mengatakan itu "A". Setelah benda itu semakin dekat, akal akan menyuruh kita mengatakan itu "B". Setelah benda itu ada di depan mata akal akan mengatakan bahwa itu "C" -dan keputusan terakhir itu belum tentu benar. Dari sinilah kemudian beliau meninggalkan dunia filsafat.
Di sini sekilas ada paradoksal doktrin yang mendasar: makalah Imam 'Ali r.a mentiadakan peran akal sama sekali dalam agama. Akal tidak memiliki peran. Padahal banyak ayat yang menganjurkan untuk memakai akal dalam menentukan hukum syara'.
Di manakah sebetulnya posisi akal dalam Islam? Sebetulnya, jika kita telaah dengan lebih cermat dan mendalam antara agama dan akal tidak bertentangan. Bahkan justru saling mendukung dan menguatkan satu sama lain. Agama (al-Qur'an) tidak akan bisa dipaham tanpa bantuan akal yang cerdas (Qs. Al-Imran ayat 7). Akal tidak akan mencapai tingkatan tertinggi tanpa agama. Keduanya bagaikan prosesor dan layar monitor yang tidak bisa dipisahkan. Hanya saja, peran agama-sebagai prosesor-lebih penting dan berarti dalam menentukan langkah-langkah yang akan diambil. Artinya, ketika akal dan agama berseberangan, yang diprioritaskan adalah agama. Agama akan selalu menuntun kita pada kebenaran sejati dari Allah. Sedangkan akal terkadang justru menyeret kita pada bahaya kesesatan yang terselubung.
Konklusinya, agama menuntun akal seseorang dalam semua aspek kehidupan yang bila ditinggalkan akan menyesatkan dan tidak pernah sampai pada kebenaran sejati. Semua aspek itu meliputi: satu, keyakinan dan akidah agama (teologi). Kedua, hukum-hukum agama (syari'at) dan ketiga Prinsip-prinsip moral dan etika (norma sosial). Selain ketiga daerah di atas, akal lebih mendominasi. Seperti untuk menjawab pelbagai permasalahan cosmos (alam, planet dan lain sebagainya) (lihat: al-Islam wa al-Aql : 27).
Akal juga sangat dibutuhkan untuk menguak rahasia kekuasaan Allah di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang seharusnya disertai dengan keimanan dan ketakwaan yang tinggi kepada Allah. Al-Qur'an sangat menganjurkan umat Islam untuk mempelajari ilmu-ilmu kauniyah (tentang alam, geografi dsb.) untuk kemajuan dan mengembalikan supremasi Islam yang hilang, seperti pada masa al-Faraby, al-Jabary, Ibnu Hamdun, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Al-Ghazaly dan tokoh lain di abad pertengahan. Terobosan fenomenal mereka memberikan catatan dengan tinta emas pada sejarah Islam.
Dus, jika demikian, pantaslah kiranya kalau Islam kita sebut sebagai agama rasional; rasional dengan daerah kekuasaan yang ada di bawah doktrin syariat. Al-Din qa'id li al-aql. Tidak seperti praktek yang dilakukan oleh orang-orang Liberalis yang memposisikan akal sebagai qa'id (penuntun) bagi agama.

Sumber : www.sidogiri.net

Dunia oh Dunia

Dunia Adalah Tempat Beramal

Abu Ubaidah Sa`id bin razin mendengar Hasan al-Bashri menasehati teman-temannya, Al-Hasan berkata, “ Sungguh dunia ini merupakan tempat beramal. barang siapa mengalami dunia dengan pandangan bahwa dunia ini penuh kekurangan dan ia berzuhud di dalamnya, tentu ia akan berbahagia, dan hubungannya dengan dunia ini memberi manfaat. Sedangkan orang yang mengalami dunia dengan penuh hasrat serta cinta padanya, tentu ia akan celaka, ia akan hanyut dari Allah Ta`ala bersama bagiannya, lalu dunia akan mengantarkan pada siksa Allah, siksa yang tidak akan mampu ia sabari dan tidak pula ia mampu menanggungnya.

URUSAN DUNIA ITU KECIL, PERHIASANNYA JUGA SEDIKIT DAN PASTI AKAN HANCUR BINASA. Allah Ta`ala adah penguasa warisan dunia. Semua penghuni dunia akan dipindahkan ke tempat yang tak lekang dan tak berubah. mereka akan dikeluarkan dari dunia.

“Maka waspadailah—kekuatan hanya ada karena pertolongan Allah—tempat tinggal itu, dan perbanyaklah mengingat tempat kembali. Wahai anak adam! putuskanlah hasrat berlebihmu terhadap dunia, jika tidak, tali dunia sungguh akan memotongmu, lalu ingatan—tentang sesuatu yang engkau diciptakan untuknya (kematian)—terputus dari dirimu, hatimu menyimpang dari kebenaran dan cenderung pada dunia, sehingga kemudian dunia menghancurkanmu. Dunia, itulah tempat buruk yang jelas bahayanya, manfaatnya akan terputus, dan—Demi Allah—ia akan menyeret hambanya menuju penyesalan abadi dan siksa yang amat pedih.

“Wahai anak adam, jangan tertipu! Engkau jangan merasa aman sebelum datang keamanan dari-Nya. Sungguh teror yang dahsyat dan urusan-urusan mengerikan ada di hadapanmu, dan sampai sekarang engkau belum terbebas darinya. Engkau mesti melaluinya dan menghadapi semua urusan itu:

“Mungkin Allah akan menegarkanmu menghadapi keburukannya dan menyelamatkanmu dari kengeriannya. Sedangkan jika kehancuran yang kau dapat, sungguh kehancuran itu merupakan wilayah yang mengerikan, men akutkan dan mengecutkan hati. Karena itu bersiap-siaplah! Larilah dari keburukannya. JANGAN SAMPAI PERHIASAN DUNIA YANG SEDIKIT DAN AKAN BINASA INI MEMBUATMU LALAI. Jangan berdiam diri dan menanti, usiamu cepat berkurang, dan ajalmu akan segera datang. Jangan katakan, `Besok, besok`, karena sungguh engkau tidak tahu kapan kembali kepada Allah.

“Ketahuilah, sungguh manusia menjadi tidak berguna dalam keindahan dunia, berebut dalam setiap keramaian untuk memperoleh segala sesuatu yang mengagumkannya. Ia senang mendapatkannya, bahkan berharap tambahan. Apapun semua itu yang bukan untuk Allah `Azza wa Jalla dan dalam rangka taat kepada-Nya maka pemiliknya akan merugi dan usahanya sia-sia.

“Sedangkan orang yang berusaha mendapatkannya karena Allah dan dalam rangka mentaati-Nya, berarti ia telah mendapatkannya dengan benar, dan ia akan mengambil bagian yang sekedar mencukupinya saja. Mereka berpegang pada kitab Allah dan janji-Nya, ingatan yang telah lalu dan yang masih tersisa serta kabar dari orang-orang yang telah mendahului mereka. Demikianlah ketentuan Allah pada hari ini, juga ketentuan-Nya pada orang yang telah lalu. Mereka semua akan menghadap Allah sambil membawa amal yang telah dilakukannya.

“Barang siapa telah ditentukan mendapat rahmat dan pahala dari-Nya, tentu baginya nikmat dan kemuliaan. Sedangkan yang telah ditentukan mendapat kemarahan dan siksa-Nya, tentu baginya kerugian dan penyesalan.

“Orang yang mendapat kejelasan dari Allah—bahwa ini adalah ketentuan-Nya dan inilah realitas—mesti memandang kecil apa yang kecil menurut Allah, mesti memandang agung apa yang agung menurut Allah.

“Bukankah Allah telah mengingatkan tentang sesuatu yang dibenci dan hina—setelah kematian—bagi ahli dunia. Tidaklah itu menentramkan jiwa seseorang dari kehidupan dunianya. Sungguh dunia akan segera lenyap, nikmatnya tidak akan abadi, sedangkan yang rakus terhadap dunia tidak mempercayainya. Yang baru dari dunia ini akan segera usang, yang sehat segera sakit, yang kaya jatuh fakir. Dunia akan menyesatkan pemburunya, mempermainkan mereka dalam setiap keadaan. Hanya orang yang mengambil pelajaran yang akan mendapatkan pelajaran dan kejelasan darinya. MAKA KENAPA ENGKAU MENUNGGU?

“Wahai anak adam, saat ini engkau ada di tempat yang akan segera mengusirmu, bahkan itu sudah dimulai. Semua yang masih ada akan menuju kematian, lalu diperlihatkanlah kepada ahli dunia berbagai urusan yang paling dahsyat dan berbahaya.

“Maka wahai anak adam, bertakwalah kepada Allah, jadikanlah usahamu di dunia untuk akhiratmu. Karena sesungguhnya tidak ada sesuatu pun dari duniamu itu untukmu, selain yang engkau persembahkan. Jangan sampai hartamu membuat jiwamu hina. Jangan biarkan dirimu mengikuti sesuatu yang engkau tahu bahwa engkau akan meninggalkannya. Berbekallah untuk menempuh jalan panjangmu, persiapkan peralatanmu di hari-hari kehidupanmu sebelum datang kematian yang telah ditentukan Allah untukmu, lalu membawamu ke tempat yang engkau tidak inginkan. Sungguh engkau akan menyesal saat penyesalan tidak lagi berguna untukmu.

“Tanggalkanlah dunia dan tanggalkanlah keutamaannya, tentu jiwamu akan tenang menghadapinya. Sungguh jika melakukannya, engkau akan mendapat nilai yang lebih menguntungkan berupa nikmat yang tidak akan pernah lenyap, dan engkau akan selamat dari siksa yang amat pedih, siksa yang tak ada jeda dan istirah.

“Berjuanglah untuk akhirat yang niscaya menjadi tempatmu yang abadi, sebelum berbagai urusan tercerai darimu sehingga engkau kesulitan menghimpunnya kembali. Kawanilah dunia dengan tubuhmu dan pisahkanlah ia dari hatimu, agar engkau memperoleh manfaat dari usia yang telah berlalu di hadapanmu, yang telah menghalangi ahli dunia dari sesuatu yang sedang mereka alami. Sungguh ia akan segera binasa, dan akibat buiruknya sangat mengerikan.

“Hendaklah kekaguman ahli dunia terhadap dunia membuatmu bertambah zuhud dan waspada terhadap dunia, sungguh orang-orang saleh bersikap demikian.

“Wahai anak adam, ketahuilah bahwa engkau sedang berusaha mendapatkan hal besar, hanya hal-hal haram dan menghancurkan yang akan menguranginya. Jangan terjebak dalam tipu daya, sementara engkau melihat jalannya. Jangan tinggalkan bagian yang telah diserahkan kepadamu, engkau akan dimintai pertanggungjawabannya. Maka murnikanlah amalmu. Jika engkau berada diwaktu pagi, maka tunggulah kematian, demikian juga di saat senja. Tidak ada daya dan upaya selain pertolongan Allah.

“Sesunggahnya orang yang paling selamat ia orang bertindak sesuai dengan perintah Allah, baik dalam waktu lapang maupun saat sulit, dan menyuruh para hamba untuk taat pada Allah dan rasul-Nya.

“Sungguh kalian sedang berada di tempat yang hina, tempat yang diciptakan sebagai fitnah, dan penghuninya dikenai ketentual ajal. Saat berakhir pada ajal, mereka binasa, lalu Allah mengeluarkan seluruh tanamannya dan mengubur semua binatang di dalamnya. Kemudian Dia memberitahu mereka tentang apa yang mereka kejar selama ini. Dia menyuruh hamba-hambanya untuk mentaati-Nya dalam segala urusan dunia yang dikeluarkan untuk mereka, lalu menjelaskan jalannya—yakni cara taat—dan menjanjikan surga bagi mereka. Mereka ada dalam kuasanya, tidak seorang pun diantara mereka dilemahkan. Tidak ada secuil amal pun tersembunyi dari-Nya. Usaha mereka di dalam dunia ini beragam. Ada yang maksiat dan ada yang taat, Allah akan membalas setiap orang setimpal dengan amal yang telah dilakukannya, dan bagi mereka bagian yang tidak pernah kurang.

“Aku tidak pernah mendengar bahwa Alah Ta`ala—tentang sesuatu yang dijanjikan bagi hamba-Nya dan yang diturunkan kepada mereka dalam kitab-Nya—menyuruh salah seorang mahluknya untuk mencintai dunia, tidak juga Dia merelakan hamba-Nya untuk bersantai dalam dunia, atau cenderung padanya. Bahkan Allah menurunkan ayat-ayat dan perumpaman bahwa dunia ini cacat, dan bahwa allah menyuruh hamba-Nya untuk menghindari dunia serta mencintai yang selain dunia(akhirat).

“Allah telah menjelaskan para hamba-Nya bahwa masalah kehancuran —yang dunia dan penghuninya diciptakan untuk itu—merupakan masalah besar dan sangat menakutkan. Allah memindahkan mereka darinya menuju tempat yang pahala mereka tidak menyerupai pahala dan dosa mereka tidak menyerupai dosa, yakni tempat keabadian. Di tempat ini Allah menghisab dan membalas hamba-Nya sesuai perbuatan mereka. Kemudian menempatkan mereka pada tempat mereka masing-masing, dengan siksa atau nikmat yang tidak pernah berubah. Semoga Allah mengasihi hamba yang mengusahkan yang halal dengan sunguh-sungguh, sampai jika yang halal ini berada di tangannya, ia mendistribusikannya sesuai dengan perintah Allah, dalam amal-amal kebaikan dan ketaatan.


“Wahai anak adam, kesulitan-kesulitan dunia yang menimpamu tidak bisa membahayakanmu jika kebaikan akhirat memurnikanmu.

Bermegah-megahan telah melalaikanmu, sampai kamu masuk ke dalam kubur (QS. 102:1-2). Ayat ini mengungkap kenyataan manusia yang senantiasa mengumpulkan kekayaan dunia dan bermewah-mewahan selama hidup. Bermegah-megahan melalaikan kalian dari surga, dari seruan Allah dan kemuliaan-Nya.

“Sungguh kami telah bersahabat dengan orang-orang yang berkata`kami tidak membutuhkan dunia, bukan untuk dunia kami diciptakan. Maka mereka pun mencari surga dengan berbagai amal: usaha mereka sejak pagi sampai sore, serta menjaga sepanjang malam untuk beribadah—ya, demi Allah—sampai darah mereka tumpah di dunia. Mereka senantiasa berharap kepada Allah, maka mereka pun menjadi orang yang beruntung dan selamat. Dan damai bagi mereka. Tidak seorang pun diantara mereka yang melipat pakaian (yakni, hanya memiliki pakaian yang dikenakannya), tidak tidur di atas kasur dan senantiasa berpuasa, tampak hina, sedih dan takut. Bahkan jika kembali ke rumah—setelah seharian berada di luar— mereka tidak bertanya tentang makanan apa ini atau itu, jika ada makanan yang disuguhkan kepadanya, ia makan, jika tidak, ia diam. (Hilyah, 2/140-142)

Diambil dari buku: Wasiat-wasiat sufistik Hasan al-Bashri, Pustaka Hidayah, 2003.

Jangan Percaya Peramal

Dua orang pencuri memasuki rumah seorang peramal (maklum, malam itu si peramal menjadi bintang tamu di salah satu acara TV swasta yang bertajuk “Nasib Bangsa 5 tahun Mendatang”)

            Setelah menggasak seluruh harta benda si peramal, salah seorang pencuri berkata kepada temannya “besok, sebaiknya ia berhenti saja menjadi peramal”, “kenapa begitu?” Tanya temannya, “bagaimana tidak, meramal dirinya sendiri saja tidak becus” jawabnya.

Doa Untuk Anak (Agar shalih dan Alim)


Bacaan diatas adalah bacaan yang selalu dibaca oleh Sayyid Abbas bin Abdul Aziz Al Maliki AL-Idrisi Al-Hasani (kakek sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki), yang sangat berharap agar anaknya, Sayyid Alwi bin Abbas (ayahanda Sayyid Muhammad Al-Maliki), dapat menjadi orang shalih dan ulama dalam arti yang sesungguhnya.

Doanya tak sia-sia, Allah mengabulkan permohonannya. Tahuin 1347 H, anaknya yang baru berusia 20 tahun, telah menjadi pengajar di Madrasah Al-Falah dan diberi izin mengajar di Masjidil Haram, sebuah kedudukan yang istimewa.

Doa ini dapat dibaca kapan saja dan berapa kali saja.  Tetapi sebaiknya dijadikan wirid (amalan tetap dan rutin), yakni baca setiap hari pada waktu yang dikehendaki, misalnya sesudah shalat.  Insya Allah anak-anak kita menjadi orang yang shalih dan alim.