Sabtu, 23 Oktober 2010

Menyingkap Propaganda Fikih Umar (2)


Berbicara tentang fikih Umar ra., terlintas pertanyaan di benak kita; benarkah sahabat yang diberi gelar al-faruq (pemisah antara haq dan bathil) oleh Rasulullah saw. itu telah melanggar ketentuan hukum al-Qur’an dan hadits? Berani-beraninya dia mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan nash sharih? Jawabnya, bisa iya, bisa juga tidak. Tergantung ideologi dan kepentingan ‘juri’nya. Namun yang jelas, fenomena tentang Fikih Umar ra. telah membawa angin segar dan menjadi vitamin tambahan bagi kelompok liberal.

Sepintas lalu, keputusan Umar ra. yang tidak memberikan zakat kepada dua pemuda yahudi yang baru masuk Islam (mu’allaf qulubuhu), tidak memotong tangan pencuri, tidak membagi-bagikan tanah ghanimah Syiria dan Irak kepada tentara muslimin—dan seabrek kasus lainnya—bertentangan dengan nash-nash sharihshorih al-Qur’an dan hadits. Namun, seandainya kita lebih jeli dalam membaca sejarah serta teliti dalam memahami nash, niscaya kita akan mengerti dan sadar bahwa semua kebijakan Umar ra. tidak pernah menyalahi nash al-Qur’an maupun hadits.
Dalam berbagai literatur sejarah disebutkan, terjadi tiga kasus pencurian di masa pemerintahan khalifah Umar ra. yang kemudian tidak dihukum potong tangan. Pencurian pertama dan yang kedua di saat terjadi krisis ekonomi di kalangan Arab saat itu. Dan kedua pencuri tersebut mengaku sangat terpaksa untuk menyambung hidup. Khalifah Umar ra. kemudian beralasan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “tidak ada potong tangan di masa peceklik” (al-Mabsuth juz 10). “Orang yang terpaksa saja diperbolehkan makan bangkai yang sedianya diharamkan oleh Allah” kata Umar ra. menguatkan argumentasinya.

Sedang kasus pencurian lainnya adalah salah satu budak Abdullah bin Amr bin al-Hadlromi yang mencuri harta tuannya. Khalifah Umar ra. tidak memotong budak itu karena dalam kasus tersebut masih mengandung syubhat; bahwa kesejahteraan hidup seorang budak menjadi tanggung jawab sang tuan. Jika kemudian si budak mencuri harta tuannya semata demi sesuap nasi, itu berarti tuan itu tidak memperhatikan hak-hak si budak, sehingga dalam harta curian tersebut terdapat hak si budak. “Menggagalkan had lebih baik dari pada melaksanakannya dalam kasus yang masih syubhat” kata Umar. Hal ini sesuai dengan pesan Nabi saw. “Hindarilah memberikan siksaan kepada orang Islam sebisa mungkin. Karena Imam yang keliru memberi ampunan itu lebih baik dari pada keliru memberikan siksaan. Jika kalian masih menemukan jalan keluar, maka hindarilah had itu”. Dengan demiakian, berarti keputusan Umar ra. juga berdasarkan nash hadits dan al-Qur’an. Begitu pula dengan keputusannya menangguhkan zakat kepada dua pemuda yahudi yang mengaku mu’allaf

Ada tiga kelompok orang yang tergolong dalam katagori ini. Pertama, orang kafir yang diharapkan keluluhan hatinya agar masuk Islam Kedua, pembesar orang musyrik/kafir yang diharapkan agar tidak memusuhi umat muslim. Ketiga, orang yang baru Islam dan imannya masih labil. (Dr. Nadiah Syarif, 1987: 271).

Dalam hadits riwayat Muslim disebutkan, Nabi Muhammad saw. pernah memberikan zakat kepada orang muallaf kafir, di antaranya kepada Shafwan bin Umayyah. Pemberian zakat kepada mereka disebabkan karena umat Islam saat itu masih sedikit. Setelah beliau wafat, ketika umat Islam kuat, para khalifah yang empat tidak ada memberikan zakat kepada mereka. Di masa khalifah Umar ra., umat Islam sedang mencapai puncak kejayaannya setelah menamatkan sejarah kejayaan Persia di Iran dan hanya bersaing dengan Imperialis Romawi. Maka kemudian munncul pertanyaan, masih adakah orang yang masuk muallaf? Umar ra. menjawab, “Dulu, Rasulullah saw. memang pernah memberikan zakat kepada kalian, karena saat itu umat Islam masih sedikit. Tapi, kini Allah telah memuliakan agama Islam dan kaum muslimin. Maka, pergilah! Jika kau ingin beriman, berimanlah. Jika ingin kafir, kafirlah!”. Konklusinya, keputusan khalifah Umar ra. tidak memberikan zakat kepada mereka bukan bertentangan dengan al-Qur’an, tapi karena memang sudah tidak ada muallaf lagi. 

Dari sini jelas bahwa tindakan revolusioner Umar ra. di atas tidak bertentangan pesan dan sabda agama. Apa yang ia lakukan hanya sebatas reinterpretasi terhadap nash sesuai dengan konteks sosial kala itu, dengan mempertimbangkan nash-nash yang lain. Nah, kontekstualisasi ala Umar ra. inilah yang tidak sepenuhnya terjamah oleh pemikiran intelektual Islam modern; di mana semangat keadilan, demokrasi dan toleransi serta jargon-jargon iblistis lainnya sangat dominan dalam pengambilan hukum. Akibatnya, yang terjadi kemudian adalah marginalisasi peran nash al-Qur’an dan hadits. Jadi, sekali lagi, tidak ada standart ganda bagi seorang Umar ra.. Otoritas nash tetap berada di atas segalanya. Baginya, posisi akal hanya sebatas menafsiri tidak sebagai hakim utama. Memang betul bahwa al-Qur’an adalah sebagian dari firman Allah, bukan seluruhnya. Tapi, kita mesti sadar bahwa otak kita terlalu najis untuk membaca firman Allah yang lain yang tidak termaktub itu. Firman Allah—baik yang termaktub atau tidak—bukan barang murahan yang siapa pun bisa membacanya.

Kisah bahwa Umar ra. pernah menarik baju Rasulullah saw. sampai tiga kali ketika beliau hendak menshalati janazah Abdullah bin Ubai (pimpinan kaum munafiq) adalah bukti nyata bagaimana kegigihan seorang Umar ra. membela perintah dan larangan al-Qur’an, di hadapan Rasulullah saw. sekalipun. Alhasil, penilain tak adil kelompok liberal terhadap fikih Umar ra. adalah fitnah dan berupa propaganda belaka untuk menjustifikasi dan melegetimasi ‘ajaran’ barunya. 

Dus, zaman terus berkembang. Pesan agama yang berupa al-Qur’an dan hadits—sebagai sumber utama agama—harus dipahami secara kontekstual sesuai dengan kemaslahatan dan realitas masyarakat. karena???(). Tapi, semangat suci ini tidak bisa dengan cara memaksa-maksakan kehendak Tuhan—dengan rumusan hermeneutika yang sok hebat—agar adaptip dengan zaman atau pembatasan otoritas nash pada ruang dan waktu tertentu di mana nash itu ditegaskan. Karena cara ini, kata Dr. Yusuf al-Qordlowi, sama halnya dengan kita meragukan kekuasaan Allah swt. “Dengan melakukan pembatasan otoritas nash berarti kita telah melecehkan Allah. Dianggapnya Allah swt. tidak mengetahui keadaan hamba-Nya yang akan datang. Allah maha mengetaui yang telah lalu dan yang akan datang. Semua kebijakannya menyimpan sejuta hikmah. Hanya orang kafir saja yang mengingkari hikmah-Nya” Dr. Al-Qordlowi, 1417 H).

Di bagian akhir tulisannya, ulama terkemuka asal Mesir ini melontarkan sebuah pertanyaan menarik, “Mengapa kehendak Tuhan yang harus disesuaikan dengan kemauan manusia? Mengapa bukan hamba dunia itu yang harus disesuaikan dengan kehendak Tuhan?” hayya natafakkar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar