Sabtu, 23 Oktober 2010

Menyingkap Propaganda Fikih Umar (1)

Ketika sebuah wacana keislaman ditawarkan, terlebih jika wacana itu bersifat ‘melawan arus’ yang melabrak-labrak, maka lahir berbagai macam aksi dan tanggapan. Ada yang mendukung dan ada pula yang menantang. Hal ini wajar. Dan, semangat intelektual itu perlu dihargai dengan memberikan ruang waktu yang cukup untuk membuktikan kebenarannya. Yang tidak wajar adalah jika barang baru itu—meminjam istilahnya Nurcholis Madjid—berupa usaha menghalalkan kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya. 

Seperti halnya dengan gerakan Islam leberal yang diusung oleh sebagian kelompok intelektual muda Islam dalam konteks negara kita, yang kemudian menjadi polemik berkepanjangan. Bahkan salah satu anggota gerakan tersebut diajukan kepengadian oleh pihak lawan (kaum fundamentalis) agar dihukum mati, dengan tuduhan telah melecehkan Allah, Rasul dan agama-Nya. 

Terlepas dari polemik di atas, diakui atau tidak, dinamika pemikiran intelektual muslim adalah suatu keniscayaan sejarah, sunnatullah bagi umat Islam sebagai salah satu upaya mencari kebenaran dan mensinergikan pesan-pesan Islam (al-Qur’an dan hadits) dengan perubahan sosial. Pun pula, diperlukan kontekstualisasi—atau bahkan aktualisasi—untuk menjawab berbagai macam problematika kekinian yang terus berkembang. Permasalahan selanjutnya, seberapa pantaskah kita harus melakukan kajian dan aktualisasi terhadap ayat-ayat al-Qur’an? Di sinilah, pertarungan dan ketegangan dua kelompok (fundamentalis dan leberalis) itu mengemuka. Bagi kaum fundamentalis, meski pintu ijtihad masih—dan akan terus—terbuka, tapi untuk saat ini tak seorang pun yang mampu memasukinya, mengingat hal itu perlu kwalitas keilmuan yang tinggi. Maksimal yang bisa dilakukan adalah, istinbat jama’i (penggalian hukum secara kolektif), seperti hasil munas Alim Ulama NU di Lampung beberapa tahun yang lalu. 

Beda halnya dengan kalangan liberalis, kelompok yang dipelopori oleh kaum intelektual muda ini justeru melihat bahwa upaya mengembangkan pesan al-Qur’an dalam konteks perubahan sosial dan budaya harus tetap dilakukan, agar al-Qur’an tetap dinilai universal dan fleksibel. Dan, dalam dinamika itu, kata Cak Nur, kita tak perlu takut salah, karena takut salah adalah kesalahan yang sangat fatal. Toh, lanjut mereka, hanya Nabi Muhammad saw. lah yang paling mengerti dan faham terhadap maksud dan tujuan al-Qur’an. Tak ada kebenaran tunggal dalam menafsiri ayat al-Qur’an selain beliau, tidak pula para sahabat Nabi, karena para sahabat juga manusia yang tidak ma’shum. Dan beliau tidak pernah menentukan siapakah yang berhak menafsiri al-Qur’an. Lebih ekstrim lagi, mereka tidak hanya membuka/memberi peluang kepada siapa pun untuk menafsiri al-Qur’an, bahkan mereka juga membatasi peran al-Qur’an (baca: Syariat Demoktarik, karya Muhammad Mahmoud Toha). Bagi mereka, ketika pesan-pesan al-Qur’an dan hadits sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman yang semakin maju, maka kita boleh tidak menggunakannya, berijtihad sendiri senyampang tidak bertentangan dengan prinsip keadilan dan demokrasi yang juga merupakan salah satu unsur terpenfing dalam ajaran Islam. 

Upaya mengembangkan nushush syariah dalam konteks perubahan sosial dan budaya adalah misi suci, dan itu perlu didukung. Hanya, misi suci harus ditempuh melalui cara dan metode yang suci pula, serta didukung oleh kwalitas keilmuan yang memadai. Itu prinsip. Kita tidak bisa menghalalkan berbagai macam cara untuk itu. Prinsip keadilan dan demokrasi tidak cukup untuk dijadikan modal menafsiri teks-teks al-Qur’an dan hadits sehingga adaptip dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Liberalisasi pemikiran semacam itu, justeru akan melahirkan produk hukum yang bertentangan dengan ajaran Islam sendiri, dan ini adalah wujud lain dari anarkhi intelektual. Sabda Nabi, “Barang siapa yang menafsiri al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri, maka carilah tempat untuknya di neraka”, na’udzubillah.

Satu hal yang sering dijadikan senjata oleh kelompok muda ini adalah Fikih Umar. Khalifah Rasulullah kedua ini, menurut mereka, ternyata sering mengeluarkan keputusan hukum yang tidak ada—atau bahkan bertentangan dengan—al-Qur’an dan hadits. Sehingga beliau sering kali mendapat kecaman dari sahabat yang lain, dan kemudian hasil ijtihadnya diterima sahabat yang lain. Salah satu contoh, kasus pencurian yang terjadi di masa keperintahannya. Beliau tidak memotong tangan sang pencuri, bahkan hanya memerintah agar mengembalikan harta curian tersebut dua kali lipat. Padahal dalam al-Qur’an telah termaktub, “Pencuri baik lelaki atau perempuan, maka potonglah tangannya”. Contoh lain adalah bahwa Umar ra. pernah tidak memberikan zakat kepada dua orang yahudi yang baru masuk Islam, padahal mereka termasuk salah satu dari delapan golongan yang berhak menerimanya (al-mu’allaf qulubuhum), serta masih banyak contoh yang lain. 

Ijtihad-ijtihad Umar bin Khathtab ra. (baca: Fikih Umar) inilah yang kemudian dijadikan tameng oleh kelompok leberalis bahwa sesekali boleh tidak mengikuti ketentuan al-Qur’an atau hadits yang bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan demokrasi (dalam persepsi otak mereka sendiri), seperti dalam masalah warisan, hukum pidana, dan bab suami-istri. Dalam tiga bab tersebut, kata mereka, ketentuan dalam nash al-Qur’an dan hadits sudah tidak relevan lagi dengan konteks budaya negara kita. Di sinilah kerancuannya, ketika emosi sudah mengalahkan logika maka anakhi intelektual akibatnya. 

Sayidina Umar bin Khathtab ra, seperti halnya sahabat Nabi yang lain, adalah orang yang mengaksikan langsung proses dan asbabunnuzul-nya ayat al-Qur’an. Jadi, merekalah umat Nabi Muhammad yang paling mengerti dan faham akan tujuan dan maksudnya. Namun demikian, para sahabat tetap kembali kepada al-Qur’an dan sunnah Nabi dalam setiap menghadapi problematika umat saat itu. Tak ada standart ganda. Kecuali jika sudah tidak ditemukan lagi dalam nash, baru kemudian mereka menggunakan akal (baca: ijtihad). Dan hal ini wajar buat para sahabat, mengingat mereka adalah ‘murid’ pertama dan berguru langsung kepada Nabi. Hanya orang syirik saja yang mungkin mengingkari kwalitas keilmuannya. 

Lantas, bagaimana dengan tuduhan bahwa ijtihad Umar sering tidak sesuai dengan nash-nash syara’?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar