Semasa
hidup gus dur pernah bercerita dalam sebuah acara di Pondok al Hikam
Malang, tentangseorang santri yang hobinya mencuri celana dalam santri
putri. Begitu ketahuan, pengurus pondok memutuskan untuk mengeluarkan oknum
itu dari pesantren. Mendengar ini, Kyai Abdul Fatah malah melarang dan
bahkan malah memberi kamar khusus untuk oknum santri itu di ndalemnya.
Kyai Fatah beralasan mereka datang ke pesantren untuk diperbaiki
akhlaknya. Kalau sudah baik akhlaknya nda perlu lagi di pesantren.
Di Pesantren HM Lirboyo, suatu hari pengurus pondok memutuskan mengeluarkan seorang
santri yang ketahuan mencuri harta benda santri-santri lain. santri
itu bahkan menyemir rambutnya dengan warna merah, dan berpenampilan
layaknya seorang preman. Saat keputusan mengeluarkan itu didengar oleh
Kyai Kafabihi, kyai menangisinya, seperti kyai fatah, kyai kafabihi
menanyakan bagaimana kalau anak itu dikeluarkan dan menjadikannya
berperilaku lebih parah? tapi berbeda dengan kyai fatah, kyai Kafabihi
menghormati putusan pengurus pondok, "meski pengurus pondok itu santri2
kyai kafa sendiri".
Saat
abah jalannya belum tertatih seperti sekarang ini, beliau dengan sabar
setiap pagi membangunkan santri2 untuk bershalat subuh. suatu hari ada
seorang santri yang tidak menyadari kalau yang membangunkan subuh itu
abah, dia menarik tongkat abah... hingga hampir terjengkang. abah
tertawa... besok harinya...santri yang sama yang memang sulit
dibangunkan... saat dibangunkan abah, dia malah nungging dan mengentuti
abah... abah tak pernah sakit hati
Lelah...
sepulang kuliah dulu, membuat saya seringkali tertidur saat ngaji
didepan Habib Shaleh Ibn Ahmad Ibn Salim Alaydrus... suatu hari saat
terkantuk-kantuk, tiba-tiba Habib berkata: "wahai para ustadz,
ketahuilah janganlah engkau mentang-mentang menjadi guru; jangan
tergesa-gesa memvonis muridmu jelek saat mereka melakukan kesalahan,
meski kesalahan sekecil apapun itu. termasuk juga saat muridmu
mengantuk... sadarlah dan pikirkanlah, jangan-jangan mereka itu digerakkan oleh Allah untuk mengingatkanmu, karena kamu para ustadz lalai terhadap Allah."
Ustadz
Ali Haidar yang pada waktu itu menjadi sekretaris Rabithah Maahidil
Islam, dalam sebuah seminar dikritik oleh kalangan akademisi tentang
kurikulum pesantren yang tidak mencerdaskan. Ustadz Ali Haidar
menjawab: "pesantren memang tidak sedang mencetak orang pintar, tapi
pesantren mencetak orang benar... orang yang berakhlak."
Saat
pertama kali sowan kepada kyai Luthfi Ghozali, beliau berkali-kali
menyitir al baqarah 134 "wa-aafi aninnaas" dan berpesan kepada saya
bahwa seorang muttaqien, adalah seorang yang pemaaf. Orang-orang yang
menyakiti itu pada hakekatnya diutus Allah untuk menguji seberapa
pantas seseorang menyandang derajat ketaqwaan, atau bahkan sedang
membuka hijab kita dengan Allah. "karenanya jangan terlalu membenci
seorang yang berbuat buruk kepada kita." begitu pesan beliau.
Guru
di pesantren... tidak seringan beban guru di dunia pendidikan formal,
apalagi yang hanya mengedepankan parameter sukses pada angka-angka
raport. Guru di pesantren lebih sebagai sosok yang merawat ruh
muridnya, mengajarkan bagaimana mengenali kehidupan dengan sentuhan
hati. Sentuhan hati yang dekat dengan RABB. karenanya pantaskah kita
menyebut diri sebagai seorang guru saat memperlakukan murid-murid
dengan hanya melihat fisik jasmani saja? mungkin mengeluarkan murid yang bermasalah bukan suatu problem didunia pendidikan umum, tapi bagi orang-orang pesantren, mengeluarkan murid
bermasalah hanyalah menunjukkan ego dan ketidak sadaran "guru" bahwa
dia telah menunjukkan kegagalannya dalam merawat ruh santri dan
kedangkalan hubungannya dengan Allah....
waLLahu a'lam bissowab. mbuh bener mbuh ora... mung Pengeran sing Pirso.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar