Kemajuan negara dan kemakmuran rakyat memang tidak ditentukan oleh faktor agama pemimpinnya. Negara akan tetap maju dan rakyat akan tetap makmur bila pemimpinnya adil meskipun pemimpin tersebut bukan seorang Muslim. Begitu pula, negara akan hancur dan rakyat akan sengsara jika pemimpinnya zalim, meskipun dia seorang Muslim. Raja Najasyi, raja Abbesinia yang akhirnya memeluk Islam pada masa Rasulullah , menyatakan:
المُلْكُ يَبْقَى مَعَ الكُفْرِ وَلاَ يَبْقَى مَعَ الظُّلْمِ
Negara bisa berjalan bersama dengan kekafiran, tapi tidak bisa berjalan bersama dengan kezaliman.
Meskipun demikian, Islam tetap melarang umatnya mengangkat pemimpin
dari kalangan non Muslim. Sebab, ajaran Islam tidak hanya berbicara
mengenai kemakmuran dan kesejahteraan. Ada yang lebih inti dari
kemakmuran dan kesejahteraan, yaitu tegaknya kebenaran dan tercapainya
keselamatan akhirat.
Adanya pemimpin dari kalangan non Muslim sangat mengganggu bagi misi penegakan kebenaran. Sebab, agama dan pandangan hidup seorang pemimpin sangat mudah menjalar kepada rakyatnya. Ketika Dinasti Umayah berkuasa di ujung Abad Pertama Hijriah dengan beranekaragam kecenderungan penguasanya, di Arab lahir sebuah pepatah yang sangat masyhur:
النَّاسُ عَلَى دِيْنِ مُلُوْكِهِمْ
Masyarakat sangat bergantung kepada agama (kecenderungan) para penguasanya.
Itulah salah satu alasan utama, kenapa hampir semua ulama dari berbagai
mazhab sepakat bahwa umat Islam dilarang mengangkat (memilih) pemimpin
dari kalangan non Muslim. Landasan dasar para ulama tersebut rata-rata
merujuk kepada QS Ali Imran ayat 28 tentang larangan Allah menjadikan
orang-orang kafir sebagai auliyâ’ (pemimpin, kekasih, orang dekat dan
semacamnya).
Syekh Syatha al-Bakri ad-Dimyathi (ulama mazhab Syafii) menyatakan, “Sultan (penguasa) disyaratkan harus Muslim. Sedangkan orang kafir tidak sah menjadi penguasa, dan tidak sah kepemimpinannya.” (lihat I‘ânatuth-Thâlibîn: IV/246)
Imam Ibnu Jamaah, salah satu pemuka mazhab Syafii, menyatakan, “Tidak diperbolehkan mengangkat seorang dzimmi (non Muslim) untuk menjadi pejabat yang mengurus kaum Muslimin, kecuali sebagai petugas pengumpul pajak dari sesama kafir dzimmi atau pengumpul pajak dari perdagangan yang dilakukan oleh non Muslim.” (Tahrîrul-Ahkâm: 147).
Imam Ibnu al-Arabi, pemuka ulama mazhab Maliki, menyatakan bahwa Sayidina Umar bin al-Khatthab melarang Abu Musa al-Asy’ari mengangkat pejabat dari kafir dzimmi. Umar memerintahkan agar Abu Musa memecat pejabat yang dia angkat dari kalangan kafir dzimmi di Yaman. Hal senada dinyatakan oleh Abu Bakar al-Jasshash, pakar fikih dan usul fikih mazhab Hanafi. Beliau menyatakan, bahwa tidak ada wilâyah (kekuasaan) bagi orang kafir untuk orang Islam. (Rawâ’i‘ul-Bayân: I/403).
Syekh asy-Syanqithi (ulama mazhab Hanbali) menyatakan, “Hadis-hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah menunjukkan bahwa beliau tidak pernah menyerahkan satu urusan kaum Muslimin kepada orang kafir, sama sekali. Beliau mematuhi ajaran Allah untuk menjaga kaum Muslimin dari penguasaan orang kafir. (Syarh Zâdul-Mustaqni‘: III/268).
Intinya, ajaran Islam sangat tegas melarang pemeluknya untuk memilih pemimpin dari kalangan non Muslim. Sayangnya, kita kalah opini, sehingga dalam kasus Pilgub DKI Jakarta misalnya, tokoh-tokoh Muslim justru ‘mengutuk’ orang Islam yang bersuara lantang untuk tidak memilih pemimpin dari kalangan non Muslim. Mereka menganggap hal tersebut sebagai fanatisme golongan. Padahal, semua fanatisme itu tercela, kecuali fanatisme kita terhadap kebenaran. Dan, kebenaran tertinggi itu ada pada agama!
Dikutip dari Topik Utama Buletin SIDOGIRI, Edisi 95, Dzul Qa'dah 1435 H
Sumber : Buletin Sidogiri