“Koran Pak” kata seorang anak yang menghampiriku disebuah lampu merah sebulan yang lalu. Aku mengarahkan pandanganku kearah koran yang ia tawarkan. Sungguh aku terkejut melihat halaman depan Koran tersebut. Disana terpampang gambar seseorang yang tidak asing lagi bagiku sedang melakukan sujud syukur. Ia adalah dosenku, pembimbing laporan Pu ku dan juga warga yang seperumahan denganku. Beliau melakukan sujud syukur karena berdasarkan hasil Quick Count lembaga survey, beliau memenangkan pilkada di salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan dengan perolehan suara sebesar 40%. Sebagai seorang mahasiswa, anak bimbingan dan warga yang seperumahan dengan beliau, rasa bangga menyelimuti hatiku. Tapi rasa itu tidak berlangsung lama. Seingatku, para salafush saleh ketika mereka diangkat maupun ditunjuk menjadi pemimpin mereka tidak melakukan sujud syukur seperti itu, malah mereka menangis karena beratnya beban amanah yang harus mereka pikul.
Aku mengembara dalam sejarah, dengan mesin waktu membawa perhatianku ke zaman Umar bin khattab dan Umar bin Abdul Aziz. Umar bin khattab adalah salah seorang sahabat Rasulullah SAW. Ia dijuluki Al Faruq karena beliau merupakan pemisah antara kebenaran dan kebatilan, beliau juga dijuluki Abu Hafshin (Bapaknya Singa) karena keberaniannya.
Beliau berusaha untuk mengetahui dan memenuhi kebutuhan rakyatnya.. Dalam satu riwayat Qatadah berkata, “Pada suatu hari Umar bin Khattab .ra memakai jubah yang terbuat dari bulu domba yang sebagiannnya dipenuhi dengan tambalan dari kulit, padahal waktu itu beliau adalah seorang khalifah, sambil memikul jagung ia lantas berjalan mendatangi pasar untuk menjamu orang-orang.”
Umar pernah berkata kepada sahabat Mu’awiyah Bin Khadij-yang heran karena melihat dirinya jarang tidur: “Jika aku tidur siang hari maka aku akan menelantarkan rakyatku, dan jika aku tidur di malam hari aku menelantarkan diriku. Bagaimana aku bisa tidur dengan dua keadaan ini?”.
Abdullah, puteranya berkata, “Umar bin Khattab .ra berkata, “Seandainya ada anak kambing yang mati di tepian sungai Eufrat, maka umar merasa takut diminta pertanggung jawaban oleh Allah SWT.”
Kini perhatianku tertuju pada khalifah umar bin abdul Aziz, beliau adalah salah satu khalifah di zaman dinasti bani Umayyah. Beliau adalah sosok yang saleh, bertakwa, ahli ibadah, wara’, dan zuhud. Ia juga seorang pemimpin yang adil, lurus, dan cerdas, mencintai dan mengasihi rakyatnya, sayang dan baik kepada mereka. Ibadahnya kepada Allah tidak menyita perhatiannya untuk memperhatikan rakyatnya. Tak ada pembatas antara dia dan hal yang menjadi kepentingan rakyatnya sampai yang paling kecil dan sepele sekalipun.
Menjelang wafatnya Sulaiman (khalifah sebelum Umar bin abdul Aziz), penasihat kerajaan bernama Raja’ bin Haiwah menasihati beliau, “Wahai Amirul Mukminin, antara perkara yang menyebabkan engkau dijaga di dalam kubur dan menerima syafaat dari Allah di akhirat kelak adalah apabila engkau tinggalkan untuk orang Islam khalifah yang adil, maka siapakah pilihanmu?”. Jawab Khalifah Sulaiman, “Aku melihat Umar Ibn Abdul Aziz“.
Surat wasiat diarahkan supaya ditulis nama Umar bin Abdul-Aziz sebagai penerus kekhalifahan, tetapi dirahasiakan dari kalangan menteri dan keluarga. Sebelum wafatnya Sulaiman, beliau memerintahkan agar para menteri dan para gubernur berbai’ah dengan nama bakal khalifah yang tercantum dalam surat wasiat tersebut.
Seluruh umat Islam berkumpul di dalam masjid dalam keadaan bertanya-tanya, siapa khalifah mereka yang baru. Raja’ Ibn Haiwah mengumumkan, “Bangunlah wahai Umar bin Abdul-Aziz, sesungguhnya nama engkaulah yang tertulis dalam surat ini”.
Umar bin Abdul-Aziz bangkit seraya berkata, “Wahai manusia, sesungguhnya jabatan ini diberikan kepadaku tanpa bermusyawarah dahulu denganku dan tanpa pernah aku memintanya, sesungguhnya aku mencabut bai’ah yang ada dileher kamu dan pilihlah siapa yang kalian kehendaki”.
Umat tetap menghendaki Umar sebagai khalifah dan Umar menerima dengan hati yang berat, hati yang takut kepada Allah dan tangisan. Segala keistimewaan sebagai khalifah ditolak dan Umar pulang ke rumah.
Hari kedua dilantik menjadi khalifah, beliau menyampaikan khutbah umum. Diujung khutbahnya, beliau berkata “Wahai manusia, tiada nabi setelah Muhammad saw dan tiada kitab setelah alQuran, aku bukan penentu hukum malah aku pelaksana hukum Allah, aku bukan ahli bid’ah malah aku seorang yang mengikut sunnah, aku bukan orang yang paling baik dikalangan kamu sedangkan aku cuma orang yang paling berat tanggungannya dikalangan kamu, aku mengucapkan ucapan ini sedangkan aku tahu aku adalah orang yang paling banyak dosa disisi Allah” Beliau kemudian duduk dan menangis “Alangkah besarnya ujian Allah kepadak” sambung Umar Ibn Abdul Aziz.
Beliau pulang ke rumah dan menangis sehingga ditegur isteri “Apa yang Amirul Mukminin tangiskan?” Beliau mejawab “Wahai isteriku, aku telah diuji oleh Allah dengan jabatan ini dan aku sedang teringat kepada orang-orang yang miskin, ibu-ibu yang janda, anaknya banyak, rezekinya sedikit, aku teringat orang-orang dalam tawanan, para fuqara’ kaum muslimin. Aku tahu mereka semua ini akan mendakwaku di akhirat kelak dan aku bimbang aku tidak dapat jawab pertanyaan- pertanyaan mereka sebagai khalifah kerana aku tahu, yang menjadi pembela di pihak mereka adalah Rasulullah saw” Isterinya juga turut mengalir air mata.
Kisah dua Umar diatas semakin menambah keyakinanku bahwa menjadi seorang pemimpin adalah hal yang berat dimana ia akan dimintai pertanggunjawaban terhadap yang dipimpinnya diakhirat kelak. Bagiku sujud syukur yang dilakukan oleh dosenku itu adalah sebuah keanehan. Sujud syukur seperti itu juga dilakukan oleh Gubernur baru Sulsel ketika ia terpilih beberapa waktu yang lalu. Apakah sujud syukur yang aneh itu juga akan dilakukan oleh gubernur jatim yang baru, walikota Makassar yang baru dan Presiden Indonesia yang baru ?. Kita tunggu.
Dari keanehan sujud syukur itu, aku menghirup aroma keanehan yang lain. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Prie GS, bahwa di dalam dunia pemulung tidak pernah kita kenakan istilah “Oknum” . Oknum itu cuma kita kenakan kepada profesi yang menurut kita hebat-hebat dan terhormat. Seperti misalnya Polisi, Tentara, Hakim, Pengacara, wartawan dan sebagainya. Tetapi karena kita tidak ingin berperkara dengan mereka, kita selalu menyebutnya oknum jika kita dapati ada seorang polisi menjadi tukang palak pada orang yang tengah berperkara, ada tentara yang mengamuk dipanti pijat, ada hakim berjualan perkara, ada pengacara Cuma mengulur-ngulur perkara. Orang-orang itu bukan polisi lagi, bukan tentara lagi, bukan hakim bukan pengacara tetapi oknum. Kita bisa mengerti bahwa penyimpangan kelakuan itu kita sebut sebagai ulah oknum. Tapi Kenapa ketika ada diantara pemulung yang mencuri,kita tidak pernah kenakan kata yang sama?
Ternyata di negeriku ini banyak juga keanehan-keanehan. Di bidang kehutanan, dalam hal negara pengeskpor kayu bulat, Indonesia berada dibawah Malaysia, padahal luas hutan Indonesia sangat besar dibanding Malaysia. Lagi-lagi sebuah keanehan.
Keanehan yang satu ini lebih parah dibanding ketiga keanehan sebelumnya, yaitu sikap para pecinta Dunia. Demi untuk memperoleh dunia, para pecintanya itu rela melakukakan apa saja, mulai dari jual harga diri ,pamer aurat, kerja pagi sampai pagi, tidak peduli halal haram dan lain sebagainya. Tapi lihatlah kebaikan dunia kepada para pecintanya itu, ia hanya memberikan lubang ukuran 1×2 meter untuk kubur para pecintanya. Dunia memang pelit kepada pecintanya.
Pencarianku terhadap keanehan terus berlanjut, sehingga aku menemukan keanehan yang lebih dahsyat lagi dibanding keanehan-keanehan sebelumnya, dan ternyata itu ada di dalam diriku sendiri. Aku tahu betapa betapa pelitnya dunia, betapa singkat masanya, betapa banya godaanya namun sedikit manfaatnya, betapa buas penghuninya dan hebat bencananya namun hati ini masih condong kepadanya.
Maka kuangkat lagi kedua tangan yang berlumur dosa ini
Ya Allah, hambamu yang hina ini menghadap kepadamu, melupakan segala sesuatunya untuk memohon kepadaMU. Selamatkanlah kami dari tipudaya dunia.
Ya Allah, hambamu yang faqir ini menghadap kepadamu, melupakan segala sesuatunya untuk memohon kepadaMU. Selamatkanlah kami dari tipudaya dunia.
Ya Allah, hambamu yang dhaif ini menghadap kepadamu, melupakan segala sesuatunya untuk memohon kepadaMU. Selamatkanlah kami dari tipudaya dunia.
Kota Daeng, 27 juli2008